ARTICLE AD BOX
Penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada secara serentak pada 2024 memberikan banyak poin pertimbangan nan perlu diseriusi segera, terutama oleh pemangku kebijakan. Setidaknya penyelenggaraan pesta kerakyatan tersebut menimbulkan banyak kritik dan masukan nan diberikan oleh beragam pihak berkepentingan dalam pemilu. Tulisan ini turut mengulas gimana semestinya perbaikan pemilu dapat dilakukan oleh pemangku kebijakan. Poin krusial pertimbangannya adalah memperbaiki pemilu dari perihal nan sangat fundamental, ialah landasan aturan.
Demokrasi nan Cacat
Indonesia mencapai titik nadir kerakyatan seperti tergambar pada laporan Democracy Index 2023: Age Conflict nan dikeluarkan oleh Economist Intelligence Unit (EIU). Laporan ini menunjukkan penurunan skor sebanyak dua tingkat dari 6,71 pada 2022 menjadi 6,53 pada 2023. Dengan skor tersebut, Indonesia berada di kategori negara dengan kerakyatan nan abnormal atau flawded democracy.
Ilmuwan politik Wolfgang Merkel, Hans-Jurgen Puhle, dan Aurel S. Croissant dalam tulisan mereka di Defective Democracy (2019) menjabarkan bahwa kerakyatan nan abnormal adalah kerakyatan nan melangkah namun mempunyai segudang permasalahan, seperti tidak berjalannya norma dan aturan, praktik klientelisme politik nan kental, hingga pemilihan umum dijalankan hanya sebatas formalitas.
Berbicara tentang kerakyatan adalah berbincang mengenai sebuah susunan negara dan konstitusi nan merefleksikan kedudukan rakyat sebagai sumber kekuasaan politik dijalankan. Artinya, menjalankan kerakyatan di suatu negara bakal erat berangkaian dengan praktik pemilihan umum dilakukan secara baik agar kedaulatan rakyat dapat datang dalam demokrasi. Hal ini mempunyai akibat pada prinsip pemilihan umum sebagai upaya penentuan legitimasi kekuasaan berasas sistem demokratis (Seran, 2016).
Dalam perjalanannya, pemilu tidak lagi dipandang sebatas mengisi posisi strategis di pemerintahan, namun juga untuk memperkuat penyelenggaraan sistem presidensial, memperkokoh integrasi bangsa, meningkatkan kualitas representasi, dan mendorong efektivitas tata kelola pemerintahan nan bersih dan bebas korupsi. Upaya ini dilakukan melalui penataan agenda penyelenggaraan pemilu nan tepat, penggunaan sistem pemilu nan relevan, manajemen pemilu nan baik, penataan kerangka hukum, hingga penggunaan teknologi nan efisien.
Meskipun pernah mengalami kemajuan kerakyatan nan signifikan sejak jatuhnya rezim Orde Baru pada 1998 dan peralihan kekuasaan nan berjalan secara tenteram setelahnya, namun tantangan hingga persoalan pemilu tetap nyata terlihat, khususnya beberapa bagian pengalaman pemilu terkini. Masalah pemilu ini kemudian berakibat pada penurunan kualitas kerakyatan Indonesia. Munculnya tren negatif pada kualitas kerakyatan menimbulkan kekhawatiran bahwa suatu negara bakal mengalami kesulitan besar dalam menjalankan sistem kerakyatan (Leininger, 2022).
Kesulitan dalam menjalankan sistem kerakyatan salah satunya ditunjukkan dari penyelenggaraan pemilu nan sekadar formalitas. Pemilu nan dijalankan sebatas formalitas bakal mempunyai segudang permasalahan. Permasalahan di Indonesia setidaknya dapat dilihat melalui tinjauan atas kreasi pemilu nan dijalankan. Berbagai tinjauan atas persoalan pemilu bakal menjadi modal dalam perbaikan penyelenggaraan pemilu nan juga berakibat pada perbaikan kondisi demokrasi. Setidaknya, upaya perbaikan pada pemilu perlu dimulai dari gimana langkah pemangku kebijakan menentukan patokan dalam kepemiluan berasas pertimbangan nan didapatkan.
Banyak Masalah
Pemilu di Indonesia tetap menyisakan beragam catatan. Buruknya kualitas partai politik, praktik rekrutmen politik nan condong terjadi secara sangat transaksional, politik berbiaya tinggi, penggunaan teknologi pemilu nan kurang optimal, kelakuan negatif dan nir-etika oleh penyelenggara, intervensi penguasa pada penyelenggaraan pemilu, hingga perampokan atas sumber daya negara untuk pemenangan kontestasi menjadi catatan negatif pemilu Indonesia.
Sebetulnya pemilu di Indonesia mempunyai sebuah masalah fundamental. Setidaknya terdapat dua masalah nan mendasar dimulai dari landasan patokan nan inkonsisten dan tidak komprehensif hingga penataan kreasi pemilu di Indonesia nan tetap banyak kekurangan.
Meninjau pada pembahasan kreasi pemilu di Indonesia setidaknya mempunyai beberapa persoalan nan perlu segera diselesaikan. Urgensi penyelesaian masalah tersebut lantaran kreasi pemilu bakal berakibat pada perilaku tokoh pemilu, termasuk tata kelola pemilu nan diciptakan pasca sistem diberlakukan. Misalnya mengenai keserentakan pemilu. Penyelenggaraan pemilu secara serentak nan dilakukan sejak 2019 dan dilanjutkan pada corak nan lebih baru pada 2024 nyatanya tidak lebih pada jauh panggang dari api.
Maksud dari keserentakan pemilu nan menggabungkan lima jenis pemilu pada satu hari nan sama adalah untuk menghadirkan adanya pengaruh ekor jas (coattail effect), memudahkan pemilih dalam memberikan pilihan serta efisiensi pada penyelenggaraan dan tata kelola pemilu. Sayangnya, baik dari sisi proses maupun hasil dari penyelenggaraan pemilu secara serentak justru menunjukkan perihal sebaliknya.
Berbagai masalah ini seyogianya dapat dipandang sebagai corak kegagalan sistematis atas kreasi pemilu. Ketika pemilu nan melangkah justru tidak sesuai pada angan normatif publik seperti berjalan secara efektif dan efisien serta terselenggara dengan tata kelola nan baik, maka dapat dilihat keharusan inisiasi untuk mereformasi pemilu (Hicken, 2019).
Penataan kreasi pemilu secara baik sepantasnya semestinya tidak dipandang sebatas pada urusan prosedural belaka melainkan sebuah urusan nan esensial dengan akibat signfikan pada kondisi demokrasi. Dengan memandang pada kegagalan sistemik di penyelenggaraan pemilu sebelumnya, pembentuk undang-undang kudu jeli menentukan kebijakan atas kreasi pemilu dengan tidak bersandar pada tindakan pengambilan keputusan nan berasas preferensi petahana untuk untung politik belaka. Jangan sampai terbiasa untuk membiarkan keruwetan patokan kepemiluan nan tumpang tindih dan tidak komprehensif.
Perbaikan kreasi pemilu perlu dimulai dari hulu, ialah langkah membikin dan merumuskan patokan kepemiluan secara matang dan komprehensif. Bagaimana mungkin suatu kreasi pemilu bisa dipahami dan dijalankan untuk tujuan nan ditentukan, ketika aspek patokan terlihat semrawut dan tumpang tindih. Maka, langkah untuk memulai perbaikan kerakyatan melalui perbaikan kerangka norma kepemiluan dinilai krusial karena bakal menentukan kualitas kerakyatan Indonesia nantinya.
Memulai dari Hulu
Pelaksanaan Pemilu dan Pilkada nan dilakukan secara serentak pada 2024 menyisakan tugas untuk dilakukan perbaikan segera. Hal ini kemudian ditindaklanjuti dengan adanya titik sepakat antara DPR dan pemerintah untuk membahas perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah dan UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sebagai pembahasan prioritas pada Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025.
Kesepakatan antara pemangku kebijakan di atas turut dilandasi dengan adanya UU No 59 Tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJN) 2025-2045. Melalui kejadian ini setidaknya menjad dasar nan krusial tentang inisiatif perbaikan pemilu dari hulu.
Titik krusial dalam perbaikan hulu penyelenggaraan pemilihan di Indonesia sepatutanya diletakkan pada upaya perbaikan patokan dan landasan penyelenggaraan. Jika memandang dari riwayat substansi Undang-undang kepemiluan, sering dirasa banyak kekurangan nan tercipta akibat pembahasan nan dilakukan tergesa-gesa dan kurang matang.
Terdapat perdebatan nan terjadi dalam metode memperbaiki patokan kepemiluan, terutama dalam pembahasan penyatuan UU Pilkada dengan Pemilu, apakah melalui metode omnibus ataukah dengan kodifikasi. Maka, krusial untuk disimak gimana riwayat dari dua metode tersebut dengan membandingkan pada aplikasi metode di patokan nan lain.
Metode omnibus nan merupakan metode untuk menyatukan dua alias lebih UU tanpa menghapus UU nan disatukan mempunyai rekam jejak kurang baik dalam historis perundang-undangan, semisal omnibus pada UU 11/2020 dan UU 6/2023 tentang Cipta Kerja nan menimbulkan banyak kritik dari masyarakat. Namun, metode kodifikasi nan merupakan metode penyatuan dua alias lebih UU nan menghapus UU nan disatukan terbukti dinilai cukup sukses secara faedah seperti terlihat pada UU No 7/2017.
Metode kodifikasi juga memungkinkan adanya pembahasan lebih luas nan dapat dimasukkan dalam substansi perundang-undangan hasil kodifikasi. Semisal mengenai UU No 2/2008 j.o UU 2/2011 tentang Partai Politik memungkinkan untuk termuat dalam metode kodifikasi nan dilakukan selama sistematika kodifikasi rancangan undang-undang kepemiluan dilakukan dengan menghindari tumpang tindih pengulangan kekacauan penyusunan materi muatan UU kepemiluan serta pengelompokan nan sesuai.
Melalui perbaikan pada patokan kepemiluan harusnya bisa diikuti dengan memperbaiki beragam aspek kepemiluan lainnya, baik secara sistem hingga manajemen kelola pada pemilu. Perbaikan melalui metode kodifikasi ini setidaknya memudahkan bagi beragam pihak. Bagi pemangku kebijakan, metode ini bakal memudahkan pembahasan serta dinamika secara politik dalam perumusan rancangan undang-undang dapat dilakukan secara seksama dan komprehensif bagi setiap pihak berkepentingan karena pemetaan rumor nan terang dan jelas.
Lalu bagi penyelenggara, perbaikan tersebut dapat memudahkan pengelompokkan dalam pembahasan isu, serta menunjang beragam kebutuhan penyelenggara dalam menentukan langkah teknis nan bakal dikembangkan dari Undang-undang. Terakhir bagi masyarakat, setidaknya kodifikasi ini bakal memudahkan kepahaman atas patokan nan bertindak serta menurunkan tingkat kompleksitas patokan nan ruwet dan condong tumpang tindih.
Muhammad Iqbal Kholidin anggota Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)