ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Puasa pada bulan Ramadan adalah perintah Tuhan nan peruntukkan mencapai derajat takwa. Ukuran untuk mencapai derajat tersebut tidak sekadar pada keahlian menahan lapar dan haus semata. Kedua keahlian itu dapat dikatakan sebagai keahlian nan paling dasar dari berpuasa. Nabi Muhammad SAW mengatakan, tidak sedikit orang nan berpuasa hanya sekadar mendapatkan lapar dan haus belaka.
Dalam berpuasa, pribadi nan mau mencapai derajat takwa tidak lagi disibukkan dengan urusan haus dan lapar semata, tetapi lebih diarahkan untuk membangun kesucian jiwa demi mendekatkan diri pada nan Kuasa. Konsekuensinya, pribadi semacam ini mesti bisa melepaskan diri dari setiap belenggu kepalsuan, baik nan dihadirkan melalui lisan maupun perbuatan.
Kepalsuan sendiri bukanlah perihal nan asing dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Kata dan perilaku nan bermuara pada perihal ini kerap hinggap dalam kehidupan masyarakat bangsa. Kata dan sikap nan abai dari nilai kejujuran adalah misal nyata nan dapat disaksikan secara kasat mata. Namun nan lebih miris lagi kondisi ini terjadi pula pada para pejabat nan diberi amanah. Mulai dari nan melakukan pemalsuan BBM dengan melakukan pengoplosan antara BBM subsidi dan non-subsidi sampai pada penjualan emas "palsu" (ilegal). Tindakan-tindakan kepalsuan semacam ini tidak hanya menghilangkan kepercayaan pada masyarakat, tetapi nan lebih parah lagi adalah menyebabkan kerugian negara nan begitu besar, disinyalir kerugian itu lebih dari ratusan miliar.
Anehnya, mereka nan melakukan tindakan-tindakan tersebut bukanlah pribadi-pribadi nan miskin secara harta; perolehan bulanannya mencapai puluhan hingga ratusan juta, apalagi sampai miliaran rupiah. Kepalsuan nan dilakukan akhirnya bermuara pada ketamakan, sebuah sikap tidak pernah merasa puas dari segala perihal nan telah didapatkan.
Tidak hanya dalam corak kata dan perbuatan, kepalsuan pun kerap datang dalam corak keimanan. Bentuk keagamaan tiruan terlihat ketika banyak dari masyarakat nan mengaku beriman, tetapi mengabaikan aturan-aturan dari nan Sakral dan mengedepankan hal-hal nan berkarakter profan. Dalam wilayah keseharian, perihal ini terpampang jelas dari perilaku menomorduakan Tuhan. Sejatinya sebagai Dzat nan Sakral, Tuhan patut untuk diutamakan, namun perihal semacam ini kerap terabaikan. Justru perlombaan di wilayah profan lebih dinomorsatukan.
Tidak sedikit dari nan mengaku beragama lebih terbuai dengan keduniawian, ambisi pada kekuasaan, ketenaran juga kemewahan nan dilakukan secara serampangan adalah realitas nan jelas terlihat dalam kehidupan. Padahal segala perihal nan berkarakter profan adalah nisbi dan pasti bakal hilang, sementara nan Sakral bakal terus kekal membersamai jiwa-jiwa nan suci.
Puasa sejatinya adalah ibadah nan mau menuntun setiap pribadi nan melakukannya untuk mempunyai jiwa nan suci. Pribadi nan mempunyai jiwa tersebut, tidak bakal mudah tergiur dengan segala corak kepalsuan nan merupakan penghalang untuk menuju pada kesucian dan berpuasa adalah jalan untuk mencapainya.
Dari Kepalsuan Menuju Keautentikan
Kepalsuan adalah jebakan untuk membentuk keautentikan diri. Diri nan autentik adalah diri nan mempunyai kesadaran tentang fitrahnya nan suci. Sejak tercipta ke bumi setiap diri adalah suci. Namun dalam perjalanannya, kesucian itu terkadang tertutup oleh gairah duniawi. Hasrat inilah nan pada akhirnya menjadikan diri kehilangan sisi keautentikannya. Konsekuensinya, nan banyak ditampilkan dalam pagelaran kehidupan adalah beragam macam corak kepalsuan. Bahkan, tidak sedikit nan bangga bakal corak kepalsuan itu.
Puasa merupakan tirakat dalam meminimalisasi segala corak kepalsuan. Di dalam puasa setiap diri diingatkan untuk kembali pada corak autentiknya. Perintah tidak makan dan minum nan ada di dalamnya adalah perintah nan dibangun untuk membangun kesadaran agar tidak serakah terhadap unsur materi, sehingga bisa merasakan derita golongan miskin dan ayah nan kesehariannya sangat jauh dari unsur tersebut. Sebuah unsur nan sering menjebak manusia kepada corak ketidakautentikan. Tidak sedikit dari manusia melegalkan beragam macam tindakan keliru demi mendapatkan unsur tersebut.
Puasa pun mengajarkan untuk bertindak jujur, terutama dalam corak kata. Konsekuensinya, setiap pribadi nan berpuasa tidak diperkenankan untuk menyampaikan kata-kata palsu, seperti janji nan tidak direalisasikan. Hal ini menjadi pengingat bagi setiap orang, terutama mereka nan duduk di wilayah pemerintahan, untuk hati-hati dalam berjanji, jangan sampai dia janji itu hanya dijadikan hiasan lisan demi merengkuh kekuasaan. Kekuasaan nan hanya berdandan janji tanpa realisasi layak dikatakan sebagai kekuasaan nan telah terjebak kepada corak kepalsuan.
Dalam puasa pun setiap pribadi diharuskan untuk bisa menahan amarah, lantaran kemarahan dapat menjadi penyebab pribadi tidak autentik (suci) dan dapat menjadikan puasa sia-sia. Jalan menuju pada keautentikan (kesucian) diri adalah jalan nan pasti diinginkan oleh setiap pribadi nan berpuasa. Melalui jalan ini setiap pribadi bakal bisa mendekatkan diri pada nan Kuasa. Semakin seseorang bisa mendekatkan diri pada nan Kuasa, bakal semakin bisa seseorang itu keluar dari beragam macam jeratan kepalsuan. Tepat kiranya jika dikatakan puasa adalah tirakat untuk menjauhkan diri dari kepalsuan.
Achmad Saeful Kepala Unit Litbang Pesantren Ibnu Syam Cilegon, pengajar Institut Binamadani Tangerang
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu