Tarif Trump Dan Ujian Wto

Sedang Trending 1 minggu yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta -

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan penjelasan komprehensif mengenai akibat pengenaan tarif terbaru oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Hal itu disampaikan Sri Mulyani dalam aktivitas Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden Republik Indonesia di Jakarta, Selasa (8/4). Sri Mulyani lantas mengomentari tarif resiprokal nan disampaikan oleh AS terhadap 60 negara. Menurut dia, langkah penghitungan tarif tersebut tidak bisa dipahami semua ahli ekonomi nan sudah belajar ekonomi.

Respons Menteri Keuangan ini mencerminkan upaya menilai kebijakan Trump nan menghubungkan dengan dua realitas: norma internasional dan tatanan perdagangan global. "Perang tarif" nan disusun oleh Presiden Trump dalam periode pemerintahannya telah dimulai sejak 13 Februari 2025. Presiden Trump merilis memorandum nan mengumumkan niatnya untuk mengenakan "tarif timbal balik" berasas Rencana Adil dan Timbal Balik alias the Fair and Reciprocal Plan (FRP).

Rencana tersebut tidak disusun berasas arti timbal kembali nan wajar serta tidak alim kepada sistem menurut norma Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Para sarjana telah bersuara keras bahwa tindakan itu berpotensi merusak wajah perdagangan multilateral dan meningkatkan tindakan unilateral setiap negara.

Dari sisi norma internasional, ada tiga masalah tarif resiprokal Trump. Pertama, defisit perdagangan AS tidak ada hubungannya dengan tarif asing alias praktik perdagangan lain nan mau dihukum AS, argumen nan berulang dikemukakan oleh para ahli ekonomi sejak pemerintahan Trump pertama (Gagnon, We Know What Causes Trade Deficits, 2017).

Kedua, praktik nan mau dihukum oleh pemerintahan AS mencakup praktik nan tidak diskriminatif. Memorandum tersebut merujuk PPN sebagai praktik nan tidak adil, meskipun faktanya ini adalah pajak tidak langsung nan diterapkan oleh lebih dari 170 negara. Ketiga, pemahaman Trump tentang 'timbal balik' bertentangan dengan penggunaan sistem serupa dalam makna apa pun di dunia, termasuk makna di mana timbal kembali telah digunakan dalam pembuatan sistem perdagangan internasional.

Hukum Internasional

Resiprositas merupakan salah satu fitur Organisasi Perdagangan Bebas alias World Trade Organization (WTO). Hal ini diatur dalam Pasal 22.4 Kesepakatan Penyelesaian Sengketa (the Dispute Settlement Understanding) nan menyediakan tolok ukur untuk menghitung pembalasan tarif nan sah jika pelaku tindakan terlarangan menolak untuk mematuhi kewajibannya setelah putusan oleh badan pengadilan WTO.

Resiprositas juga merupakan dasar untuk perjanjian perdagangan sejak awal dan merupakan tolok ukur norma untuk menghitung kompensasi nan kudu dibayarkan jika personil WTO mau mempertimbangkan kembali perjanjian tersebut (Pasal XXVIII General Agreement on Trade and Tariffs).

WTO didasarkan pada pendapat non diskriminasi. Untuk menjaga stabilitas dan prediktabilitas dalam perdagangan global, tarif disepakati untuk tetap berada dalam batas nan ditetapkan, memastikan bahwa personil WTO memperlakukan semua mitra jual beli secara setara. Beberapa pengecualian berlaku, seperti dalam kasus perjanjian perdagangan bebas antarnegara. Ini berfaedah bahwa meskipun tarif impor nan berbeda dapat bertindak untuk produk nan berbeda, jika tidak ada perjanjian perdagangan bebas, tarif nan sama kudu diterapkan untuk semua impor produk nan sama, dari mana pun produk tersebut diimpor.

Tarif saat ini nan tercantum dalam norma WTO disetujui selama Putaran Uruguay 1986-1994 dalam perundingan perdagangan multilateral. Tarif ini terus berbeda di beragam negara lantaran perbedaan kepekaan dan kepentingan sektoral. AS saat itu berjanji untuk membatasi bea masuknya pada tingkat tertentu (setelah menerima konsesi timbal kembali dari mitra dagangnya) dan untuk menerapkan bea masuk nan dibatasi dengan ketentuan nan tidak diskriminatif pada peralatan terlepas dari asal peralatan tersebut. Namun, FRP sesuai kebijakan Presiden Trump telah melanggar perjanjian ini.

Tentu saja, banyak perihal telah berubah sejak 1994. Namun, para arsitek rezim perdagangan bumi mengantisipasi perubahan. Mereka menetapkan proses multilateral nan kudu diikuti untuk secara sepihak memicu negosiasi ulang atas hasil nan disepakati setelah pembayaran kompensasi (Pasal XXVIII GATT). Mereka juga menetapkan kemungkinan untuk memulai putaran baru negosiasi (tarif) untuk mengatasi kekurangan dari putaran sebelumnya (Pasal XXVIII bis GATT). Bentuk pembentukan alias pemulihan timbal kembali ini jelas tidak menarik bagi Presiden Trump.

Ujian WTO

Ini bukan pertama kalinya pemerintah AS mengambil pendekatan 'timbal balik'. Bhagwati dan Irwin dalam artikel The Return of the Reciprocitarians: US Trade Policy Today merujuk pada pengaruh William S. Culbertson, seorang diplomat AS selama masa kedudukan Cordell Hull sebagai Menteri Luar Negeri (1933–1944) dalam pemerintahan Roosevelt.

Resiprositarianisme kemudian muncul kembali selama tahun-tahun Reagan. Sasaran retorika AS saat itu adalah negara-negara Asia nan sukses, khususnya Jepang. Akhirnya perihal ini menghilang, setelah penandatanganan Perjanjian Plaza 1985, nan menghargai nilai yen Jepang. Sekarang sasarannya adalah dunia (sistem perdagangan dunia), dan retorika Trump II tidak menunjukkan tanda-tanda bakal mereda.

Kita tidak dapat secara realistis mengharapkan AS untuk memimpin upaya untuk menertibkan prasarana internasional nan runtuh saat ini. Pasca Perang Dunia II, AS bertanggung jawab atas nyaris separuh dari PDB dunia. Ini tidak lagi terjadi. Tiongkok mendekati AS dalam perihal PDB, dan Uni Eropa (UE) tidak jauh di belakang.

Jika argumen Carvalho et al dalam artikel Equilibrium Trade Regimes: Power vs. Rules-Based (2025) terbukti benar, kita mungkin menyaksikan hari-hari terakhir tatanan liberal internasional pasca Perang Dunia II, lantaran kita dapat mengabaikan skenario di mana kekuatan dunia utama termasuk AS, UE, dan Tiongkok berasosiasi dan bekerja sama untuk membangun tatanan nan dapat diterima bersama.

Trump tidak menunjukkan tanda-tanda mau bekerja sama dengan UE, apalagi dengan Tiongkok. Prakarsa Trump bakal semakin menguji WTO, dan tetap kudu dilihat apakah dia bakal memperkuat secara substansial. Sikap para personil penting. Dalam perihal ini, UE mempunyai tanggung jawab khusus.

Dengan inisiatifnya, Trump dituding bertindak lebih jauh dari sekadar mengabaikan komitmen dan tanggungjawab AS nan telah lama berlaku. Trump ditakutkan memanipulasi sistem perdagangan internasional nan ada sedemikian rupa sehingga merasa berkuasa mengubah keseimbangan tanggungjawab akses pasar nan telah disepakati sebelumnya secara sepihak, tanpa persetujuan pihak-pihak nan terpengaruh, dan tanpa menawarkan untung kepada negara lain sebagai balasannya.

Pemberlakuan tarif untuk barang-barang tertentu dan membandingkannya secara terpisah berfaedah bahwa AS dapat secara sepihak memilih dan memilah barang-barang tersebut dan menetapkan ketentuan untuk perdagangan global. Hal ini sama sekali bakal mengabaikan fitur inti dari sistem perdagangan multilateral ialah bahwa tingkat tarif bervariasi antara negara dan sektor sebagai akibat dari perjanjian sebelumnya, tingkat pembangunan ekonomi nan beragam, dan struktur ekonomi suatu negara.

Isharyanto pengajar Hukum Konstitusi Universitas Sebelas Maret

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini