Perjalanan Tonggak Orde Baru Antara Jasmerah dan Majusi
Setelah mengusir seorang pengusaha yang berani meminta jatah 2,5% atas penjualan saham PT Telkom, Martiono Hadianto dipanggil ke Cendana pada Juni 1995. Saat Presiden memiliki pandangan yang berbeda, Hadianto selaku Direktur Jenderal Pembinaan Badan Usaha Negara menegaskan akan melaporkan pandangan tersebut kepada Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad. “Saya sudah menjawab seperti itu sebanyak tiga kali,” tutur Martiono dalam buku ‘Tonggak Tonggak Orde Baru The Untold Story’ karya wartawan senior Bambang Wiwoho. Namun, temannya di Sekretariat Negara memberitahu bahwa respons Martiono dianggap desersi dan tidak patuh terhadap Presiden. Akibatnya, Martiono dicopot dari jabatannya.
Dengan usia 50 tahun yang masih muda, Marie yang cakap dan berintegritas menyelamatkan Martiono dengan menunjuknya sebagai staf ahli. Setelah Soeharto lengser, koleganya Bambang Subianto, yang menjadi Menteri Keuangan, menarik Martiono menjadi Dirjen Bea Cukai selama enam bulan. Kemudian Martiono ditunjuk sebagai Dirut Pertamina dari tahun 1998 hingga 2000.
Pada acara peluncuran buku Tonggak Tonggak Orde Baru di sebuah restoran di kawasan Cilandak, Kamis (15/8/2024), Martiono hadir. Dia mengingatkan hadirin agar tidak melupakan sejarah. Menurutnya, apapun pemerintah dan siapapun Presidennya, pasti memiliki sisi positif. “Jangan hanya melihat sisi negatifnya. Contohnya Pak Harto. Selama memimpin dari Maret 1968 hingga jatuh pada Mei 1998, beliau berhasil membawa Indonesia dari negara miskin menjadi negara berkembang,” ucap Martiono.
Martiono menggunakan istilah Bung Karno, yaitu Jasmerah, atau Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah. Hariman Siregar, tokoh Malari 1974, juga memberikan komentarnya. Meski merasa sedih dengan kondisi politik pasca Pilpres, ia tetap berpendapat bahwa demi kebaikan negara, rakyat harus terus maju. Ia menyebut sikap ini sebagai ‘Majuisme’. “Kita harus belajar dari sejarah untuk maju ke depan. Menuju Indonesia yang lebih baik dan sejahtera. Majuisme ini penting agar kita tidak terus-menerus terjebak dalam pergulatan yang sama,” kata Hariman bijak.
Selain Martiono dan Hariman, acara peluncuran juga dihadiri oleh mantan Dirjen Energi Terbarukan Luluk Sumiarso, Marsekal TNI (purn) Imam Sufaat, KSAU periode November 2009 – Desember 2012, Laksamana (Purn) Ade Supandi, KSAL periode Desember 2014 – Mei 2018, mantan Wakil Gubernur DKI Mayjen TNI (Purn) Priyanto, penulis buku ‘Geger Pecinan’ Daradjadi Gondodiprojo, serta para wartawan senior seperti Parni Hadi, Yasso Winarto, dan Banjar Chaerudin.
Bambang Wiwoho, yang pernah berkiprah di Suara Karya pada awal 1970-an dan Panji Masyarakat di akhir Orde Baru hingga awal Reformasi, menulis Tonggak Tonggak Orde Baru sebanyak tiga jilid. Melalui tiga buku tersebut, Wiwoho ingin menyajikan perspektif yang seimbang tentang pemerintahan Orde Baru, baik dari sisi buruk maupun baiknya.
Buku pertama membahas strategi pembangunan yang ditekankan oleh Presiden Soeharto dan tim ekonominya. Buku kedua mengulas tentang kesenjangan sosial dan ekstremisme, serta gerakan kebangkitan Islam. Sedangkan buku ketiga membahas kejatuhan Soeharto dan ancaman pembelahan bangsa.
Wiwoho menekankan pentingnya memahami sejarah untuk dapat maju ke depan. “Kita ingin Indonesia yang lebih baik, sejahtera, dan maju. Buku ini mendorong kita untuk memperkuat keindonesiaan menghadapi masa depan,” tambahnya.
Secara keseluruhan, Bambang Wiwoho telah menulis lebih dari 50 judul buku, termasuk Memoar Jenderal Yoga, Operasi Woyla, Orang Jawa Mencari Gusti Allah, Pageblug Corona, dan Membaca Nusantara dari Afrika.
Leave a Comment