ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Di Indonesia, garis kemiskinan bukan sekadar angka. Ia menjadi perangkat seleksi siapa nan layak menerima bantuan, dan siapa nan kudu berjuang sendirian. Lebih dari itu, dia berubah menjadi simbol kesuksesan pembangunan sekaligus panggung statistik bagi ambisi politik.
Namun di kembali kesan objektifnya, nomor ini sering kali menyembunyikan wajah paling getir dari kehidupan jutaan orang.
Saat Angka Menutupi Luka
Sampai tahun 2025, Badan Pusat Statistik (BPS) tetap mengandalkan pendekatan kebutuhan dasar alias Cost of Basic Needs (CBN) untuk menentukan garis kemiskinan nasional, ialah Rp595.243 per kapita per bulan. Pendekatan ini menyederhanakan kemiskinan hanya sebagai ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar, pangan dan non-pangan.
Tapi, gimana dengan kualitas hidup masyarakat? jika menihilkan keahlian penduduk mendapatkan pendidikan nan baik, tempat tinggal nan layak, dan jasa kesehatan nan baik?
Berdasarkan standar ini, tercatat 24,06 juta orang di Indonesia dikategorikan sebagai miskin. Berbeda, kita membandingkan dengan standar global, terutama milik Bank Dunia, ceritanya berbeda jauh. Acuan Bank Dunia berasas purchasing power parity (PPP) tahun 2024, garis kemiskinan dunia untuk negara menengah atas seperti Indonesia berada di nomor $8,3 PPP per hari, alias sekitar Rp1,21 juta per bulan. Menggunakan standar ini, jumlah penduduk miskin melonjak tajam dari 24 juta menjadi 190 juta jiwa.
Perbedaan mencolok ini bukan sekadar selisih angka, dia berisiko menyesatkan. Ketika arti kemiskinan dibuat terlalu rendah, maka jutaan orang nan hidup dalam ketidakpastian dan kekurangan seolah lenyap dari laporan statistik resmi dan objek sasaran intervensi kebijakan. Mereka tidak terlihat. Akibatnya, tak mendapat support dan tidak terjangkau oleh program perlindungan sosial.
Menguak Realitas
Pada 6 Juni 2025, Bank Dunia merilis revisi terhadap garis kemiskinan internasional. Dampaknya langsung terasa, tingkat kemiskinan ekstrem Indonesia melonjak dari 1,26 persen menjadi 5,44 persen. Lebih mencengangkan lagi, jika memperluas cakupan ke standar negara menengah atas, nomor kemiskinan nasional mendekati 70 persen, tepatnya 68,3 persen. Ini bukan hanya lonjakan statistik, ini adalah potret kegagalan kita memahami realitas sosial dalam dua dasawarsa terakhir.
Revisi tersebut merujuk pada info terbaru International Comparison Program (ICP) 2021 nan memperbarui referensi nilai lintas negara dengan pendekatan PPP. Data ini mencerminkan perbedaan biaya hidup antarnegara dengan lebih akurat. Sebelumnya, Indonesia tetap merujuk pada info ICP 2017, nan berfaedah garis kemiskinan nasional kita sudah tertinggal dari perkembangan global.
Di tengah polemik garis kemiskinan belakangan ini, Pemerintah saat ini tengah mengkaji ulang metodologi penghitungan garis kemiskinan nasional. Pendekatan CBN tetap dipertahankan, tetapi komponen konsumsi bakal diperbarui. Misalnya, kebutuhan kalori nan selama ini ditetapkan sebesar 2.100 kkal dipertimbangkan untuk dinaikkan. Jenis makanan juga bakal disesuaikan dengan pola konsumsi masyarakat nan semakin kompleks.
Revisi semacam ini tidak bakal berfaedah jika tidak disertai keberanian politik. Karena selama ini, rendahnya standar garis kemiskinan justru digunakan sebagai "bukti" keberhasilan pemerintah. Angka-angka bagus ini dijadikan amunisi dalam narasi pembangunan, terutama menjelang momentum elektoral. Padahal, realita nan ditutupi hanya bakal menambah lembah ketimpangan dan ketidakadilan kebijakan.
Mendefinisikan Ulang Siapa nan Kita Bantu
Permasalahan paling mendasar bukan hanya soal metode penghitungan. Intinya terletak pada langkah kita memandang kemiskinan. Selama ini, dia direduksi menjadi soal konsumsi minimum. Padahal, jadi miskin berfaedah hidup tanpa kepastian kerja, tanpa akses pendidikan, tanpa perlindungan kesehatan, dan tanpa tempat dalam pengambilan keputusan (Sjaf, 2025).
Negara-negara lain telah mulai beralih ke Indeks Kemiskinan Multidimensi (Multidimensional Poverty Index/MPI) nan mempertimbangkan beragam aspek kualitas hidup: pendidikan, sanitasi, listrik, perumahan, dan kesehatan. Pendekatan ini telah diterapkan di India, Kolombia, dan Meksiko, dengan hasil nan lebih jeli dalam mengidentifikasi golongan rentan. Di Indonesia, kita mempunyai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Fakir Miskin (UU Fakir Miskin) nan setara dengan MPI. UU Fakir Miskin tidak pernah digunakan sebagai dasar kalkulasi garis kemiskinan.
Indonesia dapat menggunakan UU Fakir Miskin. Terlebih lagi, kita bukan lagi negara miskin. Pendapatan per kapita kita pada 2023 telah mencapai $4.810, jauh di atas periode pemisah negara berpendapatan rendah ($1.135).
Apabila ukuran kita tetap bertumpu pada standar negara termiskin, maka kita menipu diri sendiri. Ketika nyaris dua pertiga rakyat hidup dalam ketidakpastian ekonomi, tidak cukup hanya dengan menyatakan bahwa mereka "tidak miskin" menurut garis pengeluaran minimum.
Langkah pemerintah untuk memperbarui standar penghitungan patut diapresiasi, tetapi kudu dilakukan secara menyeluruh dan berani. Jangan sampai perubahan ini hanya menjadi kosmetik belaka, sekadar mempercantik parameter tanpa menyentuh substansi.
Jika pendekatannya tidak berubah, maka nama-nama dan nomor mungkin diperbarui, tetapi wajah kemiskinan bakal tetap sama, tak terlihat, tak terlayani, dan terus tumbuh di kembali statistik nan menipu.
Garis kemiskinan semestinya bukan perangkat untuk menutupi kekurangan, tapi justru menjadi cermin jujur atas kondisi bangsa. Jika kita sungguh mau membangun negara nan setara dan berkeadaban, maka langkah pertama adalah berakhir berbohong dengan angka.
Kita perlu berbudi pekerti besar dan berkata, ya, kemiskinan tetap besar. Dari pengakuan itulah, satu langkah pertama, dimulai perjalanan ribuan mil untuk penurunan nomor kemiskinan.
Sampean. Mahasiswa Doktoral Sosiologi Pedesaan IPB University dan Wakil Ketua Laboratorium Data Desa Presisi, Fakultas Ekologi, IPB University.
(rdp/rdp)