Enklave Monarki Diy, Demokrasi Ala Yogyakarta

Sedang Trending 17 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta -

Ada satu pertanyaan tolol saya nan terlampau revolusioner, namun wajar bagi seorang mahasiswa nan baru mulai menggandrungi obrolan kajian politik, kerakyatan dan pergerakan di kampus ketika itu. Pertanyaannya adalah: "Mengapa Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat tetap memperkuat sampai hari ini?"

Padahal Yogyakarta adalah kota pelajar dan ada UGM nan notabenenya adalah kampus pergerakan. UGM berdiri kokoh di Yogyakarta berbareng dengan suara-suara kritiknya nan lantang pada pemerintah pusat di Jakarta, namun tidak bisa meruntuhkan monarki di depan matanya.

Pertanyaan itu rupanya menghantui saya sejak awal perkuliahan hingga berakhirnya masa studi dan mendorong saya untuk berupaya memahami langkah pandang masyarakat Yogyakarta terhadap Sultan, baik sebagai raja tradisional maupun sebagai gubernur modern.

Istilah enklave monarki saya kutip dari sebuah penelitian berjudul "Obedient liberals? Mass attitudes in a monarchy enclave" oleh seorang akademisi UGM berjulukan Arya Budi. Enklave artinya wilayah (wilayah) budaya nan terdapat di dalam wilayah budaya lain. Yogyakarta dengan status keistimewaannya nan mengizinkan adanya monarki di wilayah tersebut merupakan enklave alias bagian dari NKRI nan menganut sistem demokrasi.

Arya Budi dalam penelitiannya menyebut masyarakat Yogyakarta sebagai "obedient liberals" namalain kaum liberal nan patuh. Menjadi karakter tersendiri bahwa masyarakat Yogyakarta bukanlah masyarakat nan terbelakang, melainkan masyarakat modern nan juga menganut nilai-nilai liberal seperti kebebasan berpendapat, kesetaraan kelamin dan berperan-serta aktif dalam politik nasional, tetapi tetap alim dalam konteks hidup di bawah pemerintahan monarki oleh Sultan Yogyakarta.

Tulisan ini saya minta dapat membantu masyarakat Indonesia di luar Yogyakarta untuk bisa memahami langkah berpikir masyarakat Yogyakarta nan sangat bangga dengan status keistimewaan dan agar masyarakat umum tidak mensimplifikasi makna keistimewaan Yogyakarta. Fenomena nan terjadi di Yogyakarta dapat dimaknai sebagai khazanah alias ragam dalam berdemokrasi ala Indonesia.

Yogyakarta "Memilih" untuk Bergabung dengan Republik

Ketika saya membikin skripsi tentang kajian framing Krjogja.com sebagai salah satu media lokal nan berfaedah sebagai penyedia ruang publik bagi masyarakat lokal di Yogyakarta dalam memberitakan topik status keistimewaan Yogyakarta, terdapat satu argumen nan menonjol dalam diskursus mengenai argumen keistimewaan DIY memperkuat sampai hari ini, ialah Sejarah.

Sebelum kemerdekaan Yogyakarta merupakan sebuah wilayah otonom nan mempunyai segara sarana dan prasarana penunjang untuk menjadi negara merdeka sendiri. Kendati demikian, Yogyakarta memilih untuk berasosiasi dengan Republik.

Yogyakarta mempunyai sejarah panjang sebagai pusat budaya Jawa dan peran krusial dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sultan Hamengkubuwono IX, nan memerintah sejak 1940, memainkan peran kunci selama masa perjuangan kemerdekaan dan era pemerintahan Sukarno dan Suharto. Yogyakarta juga pernah menjadi ibu kota darurat Indonesia pada tahun 1948, di mana Sultan HB IX membantu bayar penghasilan kabinet dan staf pemerintah.

Pada tanggal 5 September 1945, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Paku Alam VIII menyatakan bahwa wilayah Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman berasosiasi dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui dekrit kerajaan nan dikenal sebagai "Amanat 5 September 1945".

Sehari setelahnya, pada 6 September 1945, pemerintah pusat memberikan Piagam 19 Agustus 1945 sebagai corak penghargaan atas bergabungnya Yogyakarta dengan RI.

Bergabungnya Yogyakarta dalam NKRI menjadikan Indonesia sebagai negara nan baru merdeka dengan wilayah kedaulatan nan lebih luas. Setelah itu, Soekarno memberikan payung norma unik dan status spesial terhadap Yogyakarta sebagai wilayah dalam Indonesia.

Identitas kolektif masyarakat Yogyakarta sangat dipengaruhi oleh monarki nan telah lama berkuasa. Masyarakat Yogyakarta menunjukkan sikap "liberal patuh," di mana mereka mendukung nilai-nilai liberal seperti hak-hak wanita dalam politik, tetapi juga bangga dengan sistem monarki nan ada. Sikap ini mencerminkan adaptasi dan identitas kolektif nan kuat, di mana monarki membantu membedakan mereka dari masyarakat di provinsi lain alias negara lain.

Yogyakarta dikenal dengan tingkat pendidikan nan tinggi dan paparan terhadap modernitas, tidak ada catatan protes nan menuntut pemilihan gubernur. Sebaliknya, masyarakat Yogyakarta pernah melakukan protes besar-besaran menentang upaya pemerintah pusat untuk mengadakan pemilihan gubernur melalui RUU Keistimewaan Yogyakarta pada tahun 2009-2010. Protes ini menunjukkan support kuat masyarakat terhadap sistem monarki (status quo) nan ada.

Demokrasi Prosedural dan Demokrasi ala Masyarakat Yogyakarta

Sejak reformasi, status keistimewaan Yogyakarta telah menjadi polemik setidaknya dalam dua momentum. Pertama di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, ketika hendak merumuskan RUU Keistimewaan Yogyakarta, lampau pada akhir tahun 2023 ketika politisi PSI Ade Armando mengeluarkan pernyataan bahwa DIY menjalankan praktik politik dinasti. Keduanya terjadi akibat adanya simplifikasi dalam memaknai status keistimewaan.

Kita memang dapat mendefinisikan bahwa DIY menjalankan sistem monarki dengan tidak adanya pemilihan gubernur sebagaimana di provinsi lain.

Demokrasi seringkali dipahami sebagai sistem politik nan mengutamakan pemilihan umum nan bebas dan adil. Namun, di Yogyakarta, kita menemukan corak kerakyatan nan unik dan berbeda dari konsep kerakyatan prosedural nan umum dikenal.

Penelitian nan dilakukan oleh PolGov Universitas Gadjah Mada menunjukkan adanya kejadian unik di Yogyakarta. Masyarakat disana mendukung nilai-nilai liberal seperti hak-hak wanita dalam politik dan ekspresi diri, namun tetap bangga dengan sistem monarki nan ada. Mereka tidak menuntut adanya pemilihan gubernur secara langsung, melainkan menerima dan mendukung Sultan sebagai pemimpin nan ditunjuk.

Hal ini menunjukkan bahwa bagi masyarakat Yogyakarta, kerakyatan tidak selalu kudu diwujudkan melalui pemilihan umum nan bebas dan adil. Dalam konteks Yogyakarta, support terhadap monarki dan nilai-nilai liberal dapat melangkah beriringan. Hal ini menunjukkan bahwa kerakyatan dapat mempunyai beragam corak nan disesuaikan dengan konteks budaya dan sejarah suatu masyarakat.

Meskipun mereka mendukung nilai-nilai liberal seperti hak-hak wanita dalam politik, mereka tetap bangga dengan sistem monarki nan ada. Sikap ini mencerminkan identitas kolektif dan adaptasi terhadap pemerintahan monarki nan telah berjalan lama.

Argumentasi-argumentasi di atas menunjukkan bahwa support terhadap monarki di Yogyakarta bukanlah tanda ketidakdemokratisan, melainkan corak kerakyatan itu sendiri nan unik dan unik sesuai dengan kemauan masyarakat setempat. Masyarakat Yogyakarta telah menunjukkan partisipasi politik nan tinggi dalam pemilihan umum lainnya, tetapi tetap memilih untuk mempertahankan monarki untuk posisi gubernur. Ini menunjukkan bahwa mereka memandang monarki sebagai bagian integral dari identitas dan sejarah mereka.

Apa nan menjadi latar belakang dari keistimewaan Yogyakarta perlu dipahami oleh masyarakat luar Yogyakarta, agar dapat memandang bahwa monarki di Yogyakarta adalah hasil dari pilihan demokratis masyarakatnya. Sehingga bentrok dan perdebatan nan tidak produktif mengenai sistem pemerintahan DIY ini tidak diperlukan, lantaran monarki di Yogyakarta adalah gambaran dari kehendak rakyat nan menghargai tradisi dan sejarah mereka.

Yaser Fahrizal Damar Utama,S.I.Kom. Pemerhati Budaya

(imk/imk)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini