ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Serangan udara junta Myanmar di pusat pertambangan rubi nan diduduki pemberontak menewaskan 13 orang. Perang kerabat telah melanda Myanmar sejak militer merebut kekuasaan dalam kudeta, memicu perlawanan gerilyawan pro-demokrasi nan mempunyai tujuan sama dengan kelompok-kelompok etnis bersenjata.
Dilansir AFP, Minggu (3/8/2025), pasukan mereka nan tersebar awalnya kesulitan untuk maju, tetapi serangan campuran nan dimulai pada akhir tahun 2023 sukses merebut sebagian besar wilayah, termasuk kota Mogok--pusat perdagangan rubi.
Myanmar kaya bakal batu mulia dan unsur tanah jarang nan diincar oleh semua faksi dan dijual, sebagian besar ke negara tetangga China, untuk menambah biaya perang. Seorang ahli bicara junta tidak dapat dihubungi untuk dimintai komentar.
Namun, seorang penduduk setempat nan menolak disebutkan namanya lantaran argumen keamanan mengatakan serangan itu terjadi sekitar pukul 08.15 pagi, menewaskan tujuh orang seketika, dan 6 orang kemudian meninggal bumi akibat luka-luka mereka.
Ia mengatakan di antara korban tewas terdapat seorang biksu Buddha nan sedang mengumpulkan infak dan seorang ayah dan anak nan mengendarai sepeda motor nan sama. "Sebuah mobil nan melintas di wilayah itu juga terkena serangan," tambahnya. "Tujuh orang terluka, termasuk pengemudinya."
Seorang ahli bicara Tentara Pembebasan Nasional Ta'ang, nan telah menduduki Mogok sejak musim panas lalu, menyamakan jumlah korban tewas tersebut, tetapi menyebut 14 orang terluka.
"Serangan udara itu terjadi di pagi hari ketika menghantam area publik," kata ahli bicara Lway Yay Oo.
"Banyak orang nan melangkah di jalan, sehingga banyak nan tewas."
Militer awalnya terdesak oleh serangan campuran para pemberontak, tetapi telah memberlakukan wajib militer untuk memperkuat pasukannya.
Pasukannya baru-baru ini merebut kembali beberapa permukiman krusial di Myanmar tengah, termasuk pusat pertambangan emas Thabeikkyin, nan direbutnya akhir bulan lampau setelah pertempuran selama setahun.
Junta militer pada Kamis (31/7), mengakhiri keadaan darurat nan telah diumumkannya setelah menggulingkan pemerintahan Aung San Suu Kyi lebih dari empat tahun lalu, dan telah menyebut pemilu pada bulan Desember sebagai jalan keluar dari konflik.
Namun, dengan Suu Kyi nan tetap dipenjara, kelompok-kelompok oposisi, termasuk personil parlemen nan digulingkan, memboikot pemilu tersebut. Seorang master PBB pada bulan Juni menggambarkan latihan militer tersebut sebagai "kecurangan" nan dirancang untuk melegitimasi kelanjutan kekuasaan junta militer.
(rfs/rfs)