ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Pada pertengahan September mendatang, rakyat Suriah dijadwalkan untuk memilih parlemen baru – untuk pertama kalinya sejak tumbangnya rezim otoriter Bashar al-Assad.
Menurut info saat ini, parlemen baru bakal terdiri dari 210 anggota, bertambah 60 bangku dibanding parlemen transisi nan dibentuk pada Maret tahun ini. Parlemen baru dirancang untuk menjalankan masa transisi selama tiga tahun, nan diakhiri dengan pengesahan konstitusi baru. Pengamat pemilihan umum internasional bakal diizinkan hadir.
Wilayah-wilayah nan saat ini tidak berada di bawah kendali pemerintah – seperti area nan dikuasai golongan Kurdi dan provinsi Suwaida nan kebanyakan penduduknya berasal dari organisasi Druze dan baru-baru ini dilanda kerusuhan – tetap bakal mendapatkan alokasi bangku parlemen berasas jumlah masyarakat masing-masing, menurut instansi buletin resmi Suriah SANA.
Tantangan besar bagi pemerintah dan warga
Fakta bahwa pemilu bisa dilaksanakan di Suriah merupakan momen nan nyaris bersejarah, ujar Sarah Bassisseh, intelektual politik dan master Suriah dari Universitas Tbingen. "Negara ini sedang berada dalam fase transisi nan sulit. Namun kebenaran bahwa Suriah sekarang mempunyai sistem pemilu baru memberikan angan besar bagi banyak penduduk – meski mereka menyadari tantangan nan menyertai pemilu ini, khususnya hilangnya kepercayaan kelompok-kelompok kepercayaan dan etnis minoritas terhadap pemerintah," katanya.
Oleh lantaran itu, menurut Bassisseh, Ahmed al-Sharaa kudu bisa meyakinkan setiap golongan bakal transparansi dan legitimasi proses pemilu.
Pandangan serupa disampaikan master Timur Tengah lainnya, Birgit Schbler – sejarawan dan guru besar di Universitas Erfurt, sekaligus mantan Direktur Institut Orient di Beirut hingga 2022. Dia mengingatkan pada praktik nan bertindak di bawah rezim Assad, di mana dua pertiga bangku parlemen secara otomatis diberikan kepada Partai Baath dan mitra koalisi. "Dengan demikian, mereka tidak pernah bisa kalah. Parlemen sangat terbatas perannya – lebih seperti klub debat nan hanya menyetujui keputusan presiden."
Warisan otoriter itu sekarang diklaim bakal ditanggalkan. Sebanyak 140 personil parlemen bakal ditunjuk melalui proses demokratis oleh komite pemilu regional – meskipun rincian teknisnya tetap belum jelas.
Namun, 70 bangku sisanya bakal diisi langsung oleh Presiden transisi Ahmed al-Sharaa. Poin terakhir ini, serta pengaruh besar presiden dalam proses pemilu, menuai kritik di dalam negeri. Perkaranya, tidak semua penduduk dan golongan masyarakat percaya bahwa al-Sharaa betul-betul telah meninggalkan pendapat kekhalifahan Islam dari masa lalunya.
Pertaruhan bagi keberagaman dan inklusi
Dalam pemerintahan transisi, kabinet Ahmed al-Sharaa diketahui lebih banyak "disusun oleh orang-orang terdekat," kata Bassisseh.
Memang, penunjukan seorang Kristen, Hind Kabawat, sebagai Menteri Sosial dianggap sebagai upaya menunjukkan keberagaman dan inklusivitas. "Namun banyak penduduk Suriah nan skeptis dan meyakini penunjukannya hanya berkarakter simbolis – dan tidak lain untuk mengalihkan perhatian dari kebenaran bahwa pemerintahan tetap didominasi oleh lingkaran dalam al-Sharaa."
Karena itu pula, kata Bassisseh, "masih terbuka pertanyaan sejauh mana susunan parlemen kelak bakal betul-betul beragam dan inklusif."
Skeptisisme juga muncul lantaran 140 personil parlemen nan tersisa pun tidak dipilih secara langsung, melainkan ditetapkan oleh komite pemilu regional. Meski demikian, menurut Schbler, pertanyaan nan lebih besar adalah apakah pemilihan langsung secara logistik mungkin dilakukan mengingat prasarana negara nan hancur akibat perang.
Dia mencatat bahwa al-Sharaa tetap berpegang pada agenda pemilu meskipun terjadi kekerasan baru-baru ini di wilayah Druze. "Dia sebenarnya bisa saja menunda. Fakta bahwa dia tidak melakukannya dapat dibaca sebagai sinyal positif."
Selain itu, al-Sharaa disebut berada di bawah tekanan baik secara nasional maupun internasional. "Pemerintah telah kehilangan banyak kepercayaan akibat kekerasan dalam beberapa waktu terakhir. Itu kudu dia pulihkan," ujar Schbler.
Dalam konteks itu, pilihan al-Sharaa atas siapa nan bakal mengisi 70 bangku nan ditunjuk langsung bakal sangat menentukan. "Setiap golongan masyarakat mau merasa terwakili di parlemen," tandasnya.
Skeptisisme di kalangan minoritas
Menyusul gelombang kekerasan dalam beberapa pekan terakhir, belum jelas apakah - dan sejauh mana – golongan minoritas kepercayaan dan etnis bakal berperan-serta dalam pemilu. Menurut Bassisseh, mereka kemungkinan bakal berhati-hati. Beberapa kelompok, katanya, secara de facto tersisih dari kebijakan dan lembaga negara. Kekerasan baru-baru ini di wilayah nan dihuni organisasi Druze dan Alawi memperparah krisis kepercayaan.
"Hal ini dapat menyebabkan halangan struktural bagi partisipasi nyata kelompok-kelompok tersebut, seperti kurangnya insentif, ketidakamanan, dan keterbatasan aksesibilitas – hanya untuk menyebut sebagian," kata dia.
Bassisseh pun meragukan bahwa bakal tercipta partisipasi nan setara bagi semua golongan etnis dan kepercayaan dalam pemilu. Ketidakpercayaan terhadap pemerintah dan kurangnya kredibilitas keseluruhan proses pemilu, katanya, bisa menghalang partisipasi kelompok-kelompok minoritas.
Birgit Schbler bersikap lebih optimistis. Meski mengakui relasi antara pemerintah dan minoritas telah rusak, dia mencatat bahwa golongan minoritas sendiri, termasuk organisasi Druze, juga terpecah secara politik.
Contohnya, pemimpin Druze Hikmat al-Hijri condong menolak perbincangan dengan pemerintah Suriah dan justru menjalin hubungan dekat dengan Israel, nan sebelumnya memberikan support militer kepada organisasi Druze dalam bentrok melawan golongan Bedouin Sunni dan sebagian pasukan pemerintah.
"Namun saya kira golongan al-Hijri tidak bakal mendominasi," ujar Schbler. Dia tidak pula memperkirakan bakal terjadinya boikot pemilu oleh golongan Druze. "Tidak hanya di kalangan mereka, tetapi juga di antara minoritas lain, banyak nan mau berkedudukan dalam Suriah baru – asalkan pemerintah menghormati kepentingan mereka di tingkat regional dan lokal.
(haf/haf)