ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Eks panitera Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim), Rina Pertiwi, minta dibebaskan dari dakwaan kasus suap mengenai eksekusi lahan. Rina juga minta dibebaskan dari tuntutan 4 tahun bui jaksa penuntut umum (JPU).
"(Memohon majelis hakim) Membebaskan Terdakwa Rina Pertiwi dari seluruh dakwaan dan tuntutan jaksa penuntut umum," kata kuasa norma Rina saat membacakan nota pembelaan alias pleidoi di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (24/2/2025).
Dia juga meminta majelis pengadil menyatakan Rina tak terbukti bersalah melakukan korupsi. Dia minta nama baik dan martabat kliennya dipulihkan.
"Menyatakan memulihkan terdakwa Rina Pertiwi dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya," pinta kuasa norma Rina.
Dia menyatakan eksekusi lahan nan dilakukan Rina telah sesuai sistem nan bertindak di PN Jaktim. Dia menyebut Rina tak menerima duit apapun mengenai dugaan suap eksekusi lahan dalam kasus ini.
"Bahwa tidak pernah ada aliran biaya baik langsung maupun tidak langsung dari pemohon eksekusi Ali Sopyan kepada terdakwa Rina Pertiwi. Bahwa pemohon eksekusi, Ali Sopyan tidak pernah menjanjikan apapun dan alias meminta support kepada terdakwa Rina Pertiwi untuk percepatan proses," ujarnya.
Dia mengakui kliennya menerima sejumlah duit dari saksi Dede Rahmana. Namun, dia mengatakan duit itu merupakan pengembalian modal upaya dan pembayaran sewa ruko.
"Bahwa pemberian duit sebesar Rp 50 juta dari saksi Dede Rahmana kepada terdakwa Rina Pertiwi nan dilakukan dengan sistem setoran tunai pada bank bagian Cimahi adalah untuk pembayaran sebagai tanggungjawab pengembalian modal upaya nan pernah diberikan terdakwa Rina Pertiwi kepada saksi Yuningsih," ujar kuasa norma Rina.
"Bahwa betul terdakwa Rina Pertiwi telah menerima biaya secara transfer dari saksi Dede Rahmana senilai total Rp 222.500.000. Adapum pembayaran tersebut adalah untuk pembayaran biaya sewa ruko dan pengembalian peminjaman modal usaha," tambahnya.
Dia mengatakan Rina tidak pernah menerima duit sebesar Rp 525 juta dari Dede dalam kurun waktu Juli 2020. Dia membantah pemberian duit itu dilakukan secara tunai ke Rina oleh Dede.
"Bahwa tidak betul terdakwa Rina Pertiwi telah menerima biaya sebesar Rp 525 juta dari saksi Dede Rahmana, nan diberikan secara tunai sebesar Rp 45 juta pada tanggal 20 Juli 2020, Rp 35 juta pada tanggal 27 Juli 2020, Rp 225 juta pada tanggal 11 Agustus 2020, dan Rp 195 juta pada tanggal 15 Agustus 2020," ucapnya.
Dia mengatakan selama bulan Juli 2020, Rina berada di Kota Padang. Dia menyebut keterangan Dede nan menyebut telah memberikan duit secara langsung ke Rina dalam periode waktu itu tidak dijadikan pengadil sebagai bahan pertimbangan.
"Bahwa pada Juli 2020, terdakwa Rina Pertiwi sedang melaksanakan tugas dan berada di Kota Padang, sehingga dengan demikian perkataan dari saksi Dede Rahmana nan menyatakan sempat berjumpa dengan terdakwa Rina Pertiwi pada tanggal 20 Juli 2020, tanggal 27 Juli 2020, tanggal 1 Agustus 2020, dan tanggal 15 Agustus 2020 untuk memberikan sejumlah duit adalah keterangan nan tidak dapat dijadikan dasar pertimbangan lantaran keterangan nan disampaikan oleh Dede Rahmana tidak pernah didukung dengan perangkat bukti, perangkat bukti lain nan mendukung keterangan tersebut," tuturnya.
Sebelumnya, Rina Pertiwi dituntut 4 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan. Jaksa menyakini Rina melanggar Pasal 5 ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 ayat.
Rina didakwa menerima suap sebesar Rp 1 miliar mengenai pengurusan eksekusi lahan salah satu perusahaan BUMN. Jaksa mengatakan Rina menerima bagian Rp 797 juta dari total suap tersebut.
"Telah menerima bingkisan padahal diketahui alias patut diduga bahwa bingkisan tersebut diberikan sebagai akibat alias disebabkan lantaran telah melakukan alias tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya nan bertentangan dengan kewajibannya, jika antara beberapa perbuatan meskipun masing-masing merupakan kejahatan ada hubungannya sedemikian rupa sehingga kudu dipandang sebagai suatu perbuatan berlanjut," kata jaksa saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (21/11) lalu.
Kasus ini bermulai dari gugatan perdata mahir waris pemilik tanah di Jl Pemuda, Rawamangun, Jakarta Timur, nan dikuasai BUMN. Ahli waris itu memberikan kuasa ke seseorang berjulukan Ali Sopyan.
Gugatan perdata itu telah diputus hingga peninjauan kembali (PK) dengan hasil menghukum perusahaan BUMN bayar tukar rugi sebesar Rp 244.604.172.000 (Rp 244 miliar). Ali meminta support Johanes dan Sareh Wiyono untuk mengurus eksekusi hasil putusan PK tersebut.
Ada tiga kali pertemuan nan dilakukan antara Ali, Johanes, dan Sareh untuk membahas eksekusi putusan PK tersebut. Singkatnya, Ali memasukkan surat permohonan eksekusi putusan PK melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) PN Jaktim, dan telah lebih dulu menghubungi Rina, nan bersedia membantu mengurus eksekusi putusan tersebut.
"Bahwa setelah saksi Ali Sopyan menerima surat kuasa tanggal 18 Februari 2020, selanjutnya pada pertengahan Februari 2020 saksi Ali Sopyan memasukkan surat permohonan eksekusi tanggal 24 Februari 2020 melalui PTSP Pengadilan Negeri Jakarta Timur dan berjumpa dengan Terdakwa di PTSP di mana sebelum Saksi Ali Sopyan datang ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur untuk memasukkan surat permohonan eksekusi tersebut, Sareh Wiyono telah menghubungi Terdakwa, nan saat itu menjabat sebagai panitera pada Pengadilan Negeri Jakarta Timur," ujar jaksa.
Jaksa mengatakan surat permohonan eksekusi itu diteruskan ke meja ketua PN Jaktim. Lalu, surat permohonan itu didisposisi ke Rina selaku panitera.
"Bahwa setelah surat permohonan eksekusi dimasukkan ke PTSP, kemudian diteruskan ke meja ketua Pengadilan Negeri Jakarta Timur untuk mendapatkan disposisi mengenai penyelenggaraan eksekusi perdatanya. Selanjutnya, surat tersebut didisposisi kepada Terdakwa selaku panitera Pengadilan Negeri Jakarta Timur," ucap jaksa.
Rina kemudian membikin resume surat permohonan eksekusi lahan nan diajukan Ali. Inti resume itu menerangkan penyitaan tak bisa dilakukan oleh pihak mana pun ke aset badan milik negara/daerah, melainkan dimasukkan ke DIPA anggaran pada tahun melangkah alias tahun selanjutnya.
"Yang isinya pada poin 7 adalah sebagai berikut; bahwa oleh lantaran Termohon eksekusi adalah badan upaya milik negara merupakan lembaga pemerintah, maka sesuai ketentuan Pasal 50 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara nan menyatakan bahwa duit alias peralatan milik negara alias wilayah tidak dapat dilakukan penyitaan. Oleh lantaran itu, maka penyelenggaraan eksekusi tidak didahului dengan sita eksekusi dan penyelenggaraan eksekusi membebankan pemenuhan isi putusan tersebut untuk dimasukkan dalam anggaran DIPA pada para termohon eksekusi tahun anggaran melangkah alias tahun anggaran berikutnya," ujar jaksa.
Jaksa mengatakan Rina tak menjalankan resume tersebut. Jaksa mengatakan, pada kenyataannya, Rina tetap menyita rekening salah satu perusahaan BUMN senilai Rp 244.604.172.000 (Rp 244 miliar).
"Akan tetapi faktanya diproses faktanya proses penyelenggaraan eksekusi terhadap putusan peninjauan kembali nomor 795PK tanggal 14 November 2019 tetap dilaksanakan oleh Terdakwa selaku panitera pada Pengadilan Negeri Jakarta Timur," ujar jaksa.
Jaksa mengatakan Rina diyakini menerima bagian dari total suap Rp 1 miliar mengenai eksekusi lahan dari Ali Sopyan itu sebesar Rp 797 juta. Uang itu diterima Rina secara transfer dan cash.
"Maka total keseluruhan duit nan diterima oleh Terdakwa dari Saksi Ali Sofyan melalui Saksi Dede Rahmana ialah sebesar Rp 1 miliar. Dengan rincian ialah duit sebesar Rp 797.500.000 (Rp 797 juta) diterima oleh Terdakwa dan sisanya sebesar Rp 202.500.000 (Rp 202 juta) diberikan oleh Terdakwa kepada Saksi Dede Rahmana," ujar jaksa.
(mib/dnu)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu