ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Sumpah itu diucapkan serempak. Di bawah langit Istana, di hadapan Presiden, mereka menyatakan janji. Kata-katanya sama, nadanya seragam. "Demi Allah," sebagian mengucap, nan lain menyebut nama Tuhan dalam kepercayaannya masing-masing. Namun, di kembali ritual nan khidmat itu, apakah ada sesuatu nan lebih dari sekadar formalitas? Apakah janji itu bakal membawa perubahan, alias justru hanya kemandang nan menghilang di lorong-lorong kekuasaan?
Sebanyak 961 kepala wilayah resmi dilantik. Sebuah nomor nan bukan sekadar statistik. Di sana ada gubernur dan wakilnya, bupati, wali kota, serta para wakil mereka. Mereka, dalam skema demokrasi, adalah pemimpin di tingkat daerah, tetapi dalam bayang-bayang sistem nan semakin terpusat, seberapa jauh kekuasaan mereka betul-betul dapat dijalankan?
Sumpah nan Sama, Tantangan nan Berbeda
Setiap kepala wilayah mengucapkan sumpah dengan teks nan seragam. Tetapi wilayah nan mereka pimpin jauh dari keseragaman. Lampung dan Papua, Bandung dan Ternate, Jakarta dan Natuna—setiap wilayah punya masalahnya sendiri. Sebagian kudu menghadapi kelangkaan pangan, nan lain terjebak dalam pusaran birokrasi nan berkarat. Ada nan kudu berjuang melawan korupsi di internal pemerintahannya sendiri, sementara nan lain bergulat dengan musibah nan terus berulang.
Apakah satu sumpah dapat menjawab semua itu?
Sumpah kedudukan adalah simbol. Ia bukan jaminan. Ia hanya sebuah janji nan kudu diwujudkan dalam tindakan. Tetapi dalam politik, simbol sering lebih nyata daripada kenyataan. Pelantikan di Istana menegaskan satu hal: mereka adalah bagian dari sistem nan dikendalikan dari pusat. Otonomi daerah, nan dulu digadang-gadang sebagai solusi bagi pemerintahan nan lebih dekat dengan rakyat, sekarang tampak seperti istilah nan kehilangan maknanya.
Kepala Daerah dalam Bayang-bayang Kekuasaan
Para kepala wilayah dilantik serentak, di bawah satu komando, dalam satu ruangan. Sebuah pagelaran administratif nan efisien. Tetapi apakah ini pertanda bahwa pemerintahan wilayah semakin kuat, alias justru semakin tergantung pada pusat?
Dalam politik, pelantikan adalah momen nan selalu sarat makna. Ini bukan hanya soal siapa nan berdiri di depan untuk bersumpah, tetapi siapa nan berada di kembali layar, mengendalikan skenario. Apakah ini menegaskan otonomi, alias justru menandai penguatan kontrol pusat atas daerah?
Pada era Orde Baru, kepala wilayah adalah kepanjangan tangan kekuasaan pusat. Mereka tak lebih dari pengurus nan kudu loyal pada kebijakan pemerintah pusat. Reformasi membawa perubahan: pilkada langsung, desentralisasi, dan janji bahwa wilayah bakal lebih mandiri. Tetapi kini, dengan kepala wilayah nan kembali diangkat tanpa pemilihan, apakah kita sedang melangkah mundur ke era nan lebih terkendali?
Birokrasi, Korupsi, dan Realitas Politik Daerah
Setiap kepala wilayah datang ke kursinya dengan beragam latar belakang. Ada nan mantan birokrat, ada nan lahir dari dinasti politik, ada pula nan diorbitkan oleh partai nan kuat. Tetapi satu perihal nan pasti: mereka semua bakal menghadapi realita nan sama—birokrasi nan lamban, kepentingan nan bersilangan, dan bujukan kekuasaan nan selalu mengintai.
Korupsi di wilayah bukan cerita baru. Setiap tahun, ada kepala wilayah nan ditangkap KPK. Ada nan terjerat suap proyek infrastruktur, ada nan bermain dalam pengadaan peralatan dan jasa, ada pula nan sekadar menumpuk kekayaan untuk kepentingan family dan kroninya. Di tengah sistem nan korup, gimana sumpah itu bakal dipertahankan?
Tidak semua kepala wilayah korup. Tidak semua kehilangan integritasnya. Tetapi sistem sering kali lebih besar daripada individu. Kepala wilayah nan bersih kudu berhadapan dengan politik duit nan mengakar, dengan birokrasi nan dipenuhi aparatur nan lebih setia pada patron daripada pada aturan. Mereka kudu melawan sistem nan sering kali lebih kuat dari niat baik mereka.
Antara Kekuasaan dan Kepentingan Rakyat
Dalam politik, loyalitas adalah mata uang. Kepala wilayah tidak hanya kudu setia pada rakyat, tetapi juga pada pihak nan memberinya jalan ke tampuk kekuasaan. Partai politik, elite nasional, apalagi oligarki lokal—semua punya kepentingan.
Dalam sistem kerakyatan nan sehat, kepala wilayah adalah perwakilan rakyat di tingkat lokal. Tetapi dalam sistem nan semakin tersentralisasi, mereka lebih sering menjadi perpanjangan tangan dari kekuasaan nan lebih besar. Mereka bisa jadi pemimpin, tetapi sering mereka hanya administrator.
Lalu, di mana posisi rakyat dalam semua ini? Apakah kepala wilayah tetap bisa menjadi pemimpin nan betul-betul memperjuangkan kepentingan rakyatnya? Atau mereka hanya menjadi bagian dari sistem nan sudah sejak lama kehilangan orientasi pada rakyat?
Politik Sentralisasi dalam Wajah Baru
Pelantikan 961 kepala wilayah di Istana menunjukkan satu perihal nan jelas bahwa negara mau menegaskan kendali atas daerah. Ini bukan hanya soal seremoni, tetapi juga pesan bahwa kekuasaan pusat tetap lebih dominan daripada kekuasaan daerah.
Desentralisasi adalah janji Reformasi. Tetapi kini, kita menyaksikan gimana kekuasaan wilayah semakin dikendalikan. Pilkada nan ditunda, kepala wilayah nan ditunjuk, dan sistem pemerintahan nan semakin terpusat. Apakah ini sekadar efisiensi, alias tanda bahwa kita sedang melangkah ke arah nan lebih otoriter?
Dari Sumpah ke Tindakan
Sumpah itu telah diucapkan. Tetapi janji politik selalu lebih mudah diucapkan daripada diwujudkan. Tantangan nan dihadapi kepala wilayah tidak sederhana. Mereka kudu menghadapi birokrasi nan berbelit, kepentingan politik nan kompleks, serta ekspektasi rakyat nan terus meningkat.
Tetapi lebih dari itu, mereka kudu menemukan kembali makna kepemimpinan daerah. Apakah mereka bakal menjadi pemimpin nan betul-betul bekerja untuk rakyat, alias hanya bagian dari mesin kekuasaan nan bekerja demi dirinya sendiri?
Di dalam sumpah nan seragam itu, semoga tetap ada ruang bagi keberanian untuk berbeda. Karena dalam politik, nan membedakan seorang pemimpin sejati dari sekadar pejabat adalah keberanian untuk bertindak di luar naskah nan sudah ditulis untuknya.
Sebab, pada akhirnya, rakyat tak butuh sumpah. Mereka butuh kepemimpinan nan nyata.
Firdaus Arifin, S.H, Mh dosen Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Pasundan, Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu