Beli Kuliah Program Doktor, Bamsoet Soroti Putusan Mk Soal Pemilu

Sedang Trending 4 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta -

Anggota Komisi III DPR RI Bambang Soesatyo menuturkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 telah membuka babak baru kerakyatan elektoral Indonesia. Pemilu nasional nan meliputi pemilihan presiden, DPR, dan DPD bakal tetap dilangsungkan serentak pada tahun 2029.

Namun, pemilihan kepala wilayah (pilkada) dan personil DPRD bakal digeser paling singkat dua tahun alias paling lama 2,5 tahun kemudian setelah pemilu nasional, di tahun 2031, sehingga, skema pemilu serentak nan diterapkan sejak tahun 2019, tidak bakal lagi diterapkan pada Pemilu 2029.

Putusan MK ini merupakan respons terhadap uji materi nan diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) nan menggugat frasa 'pemungutan bunyi dilaksanakan secara serentak' dalam Pasal 167 ayat (3) UU Pemilu.

MK mengabulkan gugatan tersebut dan menyatakan bahwa frasa 'serentak' tidak bisa dimaknai sebagai keharusan seluruh pemilihan dilakukan pada hari nan sama. MK juga menekankan pentingnya efisiensi dan kerasionalan dalam penyelenggaraan pemilu, tanpa mengabaikan prinsip kedaulatan rakyat dan kewenangan pilih nan dijamin konstitusi.

"DPR, pemerintah serta partai-partai politik tidak punya ruang untuk menolak putusan MK tersebut, lantaran berkarakter final dan mengikat. Pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang kudu segera melakukan constitutional engineering alias rekayasa konstitusional, demi memastikan sistem pemilu nan baru melangkah efektif, efisien, dan tetap demokratis," ujar Bamsoet dalam keterangannya, Sabtu (5/7/2025).

Hal ini dia katakan saat mengajar mata kuliah 'Pembaharuan Hukum Nasional', Program Doktor Ilmu Hukum di Kampus Universitas Borobudur di Jakarta, Sabtu (5/7/2025).

Ketua MPR ke-15 ini memaparkan, ada dua langkah nan bisa dilakukan lembaga negara, ialah MPR, DPR, dan Pemerintah. Pertama, MPR dapat melakukan amandemen terbatas terhadap UUD NRI 1945, jika memang dibutuhkan payung norma konstitusional nan lebih tegas dalam memisahkan antara pemilu nasional dan pemilu daerah.

Amandemen ini tidak kudu mengubah banyak hal, tetapi cukup menyesuaikan norma-norma pasal mengenai kedaulatan rakyat, sistem pemilu, dan masa jabatan.

Langkah kedua nan paling realistis dalam waktu dekat adalah menerapkan prinsip norma transisi dengan melakukan revisi terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

Revisi ini bakal mengatur kembali agenda pemungutan suara, masa kedudukan personil DPRD, dan masa transisi antara berakhirnya masa kedudukan DPRD dan kepala wilayah hasil Pilkada 2024 secara bersama-sama dengan Pilkada selanjutnya pada 2031.

"Sehingga pemisahan rezim pemilu dan rezim pilkada terlaksana dengan baik. Dimana selanjutnya periodesasi pilkada dan pemilihan personil DPRD kembali masing-masing 5 tahun sesuai ketentuan nan ada dalam konstitusi alias UUD 1945 kita," kata Bamsoet.

Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menguraikan rumor masa kedudukan menjadi tantangan tersendiri. Jika pilkada baru bakal digelar pada 2031, padahal masa kedudukan DPRD dan kepala wilayah hasil Pemilu 2024 bakal berhujung pada 2029, maka diperlukan sistem transisi, seperti perpanjangan masa kedudukan hingga 2031 alias penunjukan pejabat (Pj).

Menurutnya ini bukan perihal baru dalam sejarah kerakyatan Indonesia. Ketika pilkada diseragamkan pada 2024 lalu, masa kedudukan kepala wilayah hasil Pilkada 2017-2018 berhujung lebih sigap dan digantikan oleh penjabat kepala wilayah hingga Pilkada serentak berikutnya.

"Prinsip dasarnya adalah tidak boleh ada pihak nan dirugikan, baik dari sisi kewenangan politik penduduk negara, kepastian norma bagi penyelenggara dan peserta pemilu, maupun keberlanjutan roda pemerintahan. Maka, dalam proses perumusan ulang kreasi pemilu ini, DPR dan pemerintah dituntut untuk bekerja cepat, terbuka, dan partisipatif, agar hasilnya tidak menjadi sumber bentrok baru ke depan," urai Bamsoet.

Bamsoet menambahkan, putusan MK memang berkarakter final, mengikat serta tidak bisa diganggu gugat. Namun pelaksanaannya tetap memerlukan instrumen norma turunan nan memadai. Di sinilah pentingnya komitmen politik nasional nan solid.

Karena gimana pun, kerakyatan bukan hanya soal memilih pemimpin, tetapi juga tentang merancang sistem nan adil, masuk akal, dan memberi ruang bagi rakyat untuk betul-betul berdaulat.

"Indonesia sekarang menghadapi momentum krusial untuk mengevaluasi kembali sistem pemilu nan terlalu padat dan kompleks. Skema dua gelombang pemilu mungkin bisa menjadi solusi moderat, asal dirancang dengan baik. Lebih dari itu, ini merupakan kesempatan emas untuk memperbaiki kualitas kerakyatan secara menyeluruh agar lebih berdaya, manusiawi, dan konstitusional," pungkas Bamsoet.

(anl/ega)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini