Bisakah Rusia Dan As Menulis Ulang Sejarah Yang Penuh Dengan Tawar Menawar? | Family Opera Initiative

Sedang Trending 2 minggu yang lalu
ARTICLE AD BOX

loading...

Rusia dan AS bakal menulis ulang sejarah nan penuh dengan tawar menawar. Foto/X/@BronzePolitik

MOSKOW - Selama bertahun-tahun, hubungan Rusia -Amerika tampaknya berada dalam koma nan tidak dapat diubah. Diplomasi telah mati, disusul oleh permusuhan, sanksi, dan meningkatnya akibat konfrontasi militer. Banyak nan bersikeras bahwa tidak ada nan dapat memutus lintasan ini — Moskow dan Washington terkunci dalam jalur bentrok nan tidak dapat diubah.

Namun saat ini, laju perubahannya sangat mencengangkan. Pertemuan tingkat tinggi baru-baru ini antara pejabat Rusia dan Amerika di Riyadh, diikuti oleh pernyataan terbaru Donald Trump, menunjukkan bahwa tidak ada nan dapat ditentukan sebelumnya dalam geopolitik.

Pergantian peristiwa ini mengingatkan kita pada segmen ikonik dari Terminator 2, di mana Sarah Connor mengukir "No fate" di atas meja kayu. Putranya, John, menjelaskan lebih lanjut tentang pemikiran tersebut: "Tidak ada takdir selain nan kita buat sendiri." Pesannya jelas — masa depan kita dibentuk oleh pilihan, bukan oleh takdir.

Selama bertahun-tahun, analis dan politisi di Rusia dan Barat bersikeras bahwa kebuntuan AS-Rusia tidak dapat dihindari. Beberapa mahir strategi Amerika memandang Rusia sebagai musuh nan tidak dapat ditebus, sementara "para patriot turbo" Rusia memperingatkan bahwa keterlibatan apa pun dengan Washington bakal menjadi jebakan. Suara-suara nan lebih ekstrem di kedua belah pihak apalagi menyatakan bahwa konfrontasi tersebut hanya bakal berhujung dengan musibah nuklir.

Namun, peristiwa nan terjadi sekarang menunjukkan sebaliknya. Jika tidak ada takdir selain nan kita buat, maka pilihan-pilihan nan ada di hadapan Moskow dan Washington saat ini mempunyai signifikansi historis.

Bisakah Rusia dan AS Menulis Ulang Sejarah nan Penuh dengan Tawar Menawar?

1. Ilusi Barat nan Monolitik

Pembicaraan Riyadh telah mulai membongkar dugaan lama tentang apa nan semestinya menjadi kesatuan "Barat kolektif". Selama bertahun-tahun, para kreator kebijakan Rusia percaya bahwa politik dunia dikendalikan oleh satu struktur kekuatan "Anglo-Amerika" nan terpusat, nan beraksi dengan lancar dari Washington hingga Brussels. Kenyataannya, seperti nan telah berulang kali ditunjukkan oleh era Trump, jauh lebih terfragmentasi.

"Amerika Trump bukanlah Amerika Joe Biden. Bahkan di dalam Washington, perpecahan nan dalam terlihat jelas. Sementara itu, Eropa Barat — nan telah lama dianggap sangat berpihak pada AS — sekarang mendapati dirinya berjuang dengan perselisihan internal dan kebencian atas tekanan Amerika," ungkap Andrey Kortunov, peneliti geopolitik Rusia, dilansir RT.

Baca Juga: Rusia Tetap Jadi Pemenang, Ukraina Kalah Memalukan

2. Memanfaatkan Peluang Perpecahanan Eropa dan AS

Bagi Rusia, fragmentasi ini merupakan sebuah peluang. Terurainya konsensus transatlantik menghadirkan kesempatan nan apalagi tidak ada setahun nan lalu.

Tentu saja, skeptisisme tetap ada. Para kritikus bakal beranggapan bahwa perjanjian apa pun dengan Washington adalah jebakan — bahwa AS bakal membikin janji-janji besar hanya untuk mengingkarinya nanti, seperti nan telah terjadi di masa lalu. Bahwa begitu Rusia lengah, Barat bakal kembali pada kebiasaan lamanya, ialah berkhianat dan mengingkari kesepakatan.

"Ini bukan kekhawatiran nan tidak berdasar. Sejarah telah mengajarkan Rusia untuk bersikap hati-hati. Namun, diplomasi bukanlah tentang agunan — ini tentang peluang. Tidak ada nan namanya perjanjian nan kuat dalam geopolitik. Setiap kesepakatan dapat diingkari, setiap janji dapat dibatalkan. Pertanyaan sebenarnya adalah apakah Rusia siap memanfaatkan momen ketika kesempatan langka itu muncul," jelas Kortunov.

3. Rusia Lebih Kuat dan Lebih Mandiri

Bahkan jika utusan Trump — Marco Rubio, Mike Waltz, dan Steve Witkoff — adalah negosiator nan terampil, susah untuk membayangkan bahwa mereka mempunyai pemahaman diplomasi nan lebih unggul daripada tokoh-tokoh seperti Sergey Lavrov alias Yury Ushakov. Rusia mempunyai diplomat berilmu nan telah menghabiskan waktu puluhan tahun menavigasi kompleksitas politik kekuatan global. Jika tim AS percaya dapat mengalahkan Moskow, mereka salah besar.

"Jalan ke depan tidak pasti, dan bakal ada suara-suara nan bersikeras bahwa Rusia kudu menolak keterlibatan apa pun dengan Washington secara langsung. Namun, menolak berkompromi lantaran takut bakal menjadi kesalahan. Rusia tidak berada dalam posisi seperti pada tahun 1990-an — Rusia lebih kuat, lebih mandiri, dan diakui sebagai kekuatan global. Kali ini, Moskow memasuki perundingan bukan sebagai pemohon tetapi sebagai pihak nan setara," papar Kortunov.

Peluang dalam diplomasi jarang terjadi. Mudah untuk membiarkannya berlalu; jauh lebih susah untuk merebutnya. Jika Rusia dan AS dapat bergerak menuju kompromi nan masuk logika — nan mengamankan kepentingan inti Moskow sembari meredakan ketegangan — mungkin inilah momen nan membentuk kembali lanskap geopolitik untuk tahun-tahun mendatang.

(ahm)