ARTICLE AD BOX
loading...
China hadapi kritik atas kondisi kebebasan norma usai Insiden 709, sebuah penindasan besar-besaran terhadap ratusan pengacara dan aktivis HAM satu dasawarsa silam. Foto/Badiucao via ISHR
JAKARTA - Satu dasawarsa sejak penindasan terbesar terhadap pengacara kewenangan asasi manusia (HAM) dalam sejarah modern China, para pengacara dan aktivis mengatakan bahwa kontrol Partai Komunis China (PKC) terhadap pekerjaan norma telah semakin ketat. Hal itu membikin pekerjaan memihak kewenangan seseorang menjadi nyaris mustahil dilakukan.
“Lingkungan norma untuk kewenangan asasi manusia terus-menerus mengalami kemunduran, terutama setelah pandemi,” kata Ren Quanniu, seorang pengacara HAM nan dicabut izin praktiknya.
“Saat ini, negara norma di China—terutama dalam perihal perlindungan kewenangan asasi manusia—telah memburuk ke titik nan nyaris bisa dibandingkan dengan era Revolusi Kebudayaan,” sambung dia, sebagaimana dikutip dari The Guardian, Kamis (10/7/2025).
Baca Juga: Prancis Tuduh China Coba Gagalkan Penjualan Jet Tempur Rafale Secara Global, Sebut Indonesia
Revolusi Kebudayaan adalah satu dasawarsa kekacauan massal nan diluncurkan oleh pemimpin lama China, Mao Zedong, pada tahun 1966. Pada masa itu, lembaga kehakiman diserang lantaran dianggap “borjuis” dan sistem peradilan nan baru tumbuh nyaris sepenuhnya ditangguhkan.
Ren adalah salah satu dari ratusan pengacara HAM nan menjadi sasaran sejak “Insiden 709”, sebuah penindasan nasional terhadap pengacara dan aktivis nan dimulai pada 9 Juli 2015.
Menurut golongan HAM dan pemerintah Amerika Serikat, sekitar 300 orang dari organisasi lenggang aktivitas pembela kewenangan nan sedang berkembang, dikenal sebagai weiquan, menjadi sasaran penangkapan.
Sepuluh di antaranya dihukum atas dakwaan seperti “subversi terhadap kekuasaan negara” dan dijatuhi balasan penjara, sementara puluhan lainnya terus mengalami pengawasan, pelecehan, dan pencabutan lisensi ahli selama bertahun-tahun setelahnya.
China modern memang tidak pernah ramah terhadap pengacara HAM. Namun pada tahun 2000-an, ketika internet mulai berkembang dan China semakin menginginkan pengakuan global, ruang bagi masyarakat sipil sempat tumbuh—meski sekarang nyaris tak bisa dikenali lagi. Para pengacara saat itu sukses mencetak beberapa kemenangan dalam perkara mulai dari skandal susu formula tercemar hingga pemanfaatan pekerja migran.
“Sulit dikatakan bahwa kami mencapai keberhasilan—kami hanya bisa mengatakan bahwa jasa nan kami berikan membikin pihak berkuasa lebih susah menganiaya golongan tertentu,” tutur Jiang Tianyong, mantan pengacara HAM berumur 54 tahun nan dikenal menangani kasus minoritas kepercayaan dan etnis. Dia pernah dipenjara selama dua tahun atas dakwaan “menghasut subversi terhadap kekuasaan negara.”