ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (HNW) mendukung jika negara-negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) membikin izin alias patokan perundangan Anti-Islamofobia. Hal ini sebagaimana sudah dibuat UU Anti-Semitisme di beberapa negara.
Khusus untuk Indonesia, HNW mendukung prakarsa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Gerakan Nasional Anti Islamofobia (GNAI) untuk mengusulkan RUU tersebut ke DPR, dan Fraksinya, FPKS siap menyambut, mendukung dan memperjuangkannya.
"Gagasan tersebut perlu terus disuarakan dan juga direalisasikan. Apalagi untuk Indonesia, agar Indonesia sebagai salah satu negara berpenduduk kebanyakan muslim terbesar di bumi juga bisa memainkanperannya dalam memerangi Islamofobia, bukan hanya di dalam negeri tetapi juga di level global. Sebagai corak pengamalan terhadap Konstitusi (khususnya alinea ke-4 Pembukaan UUDNRI 1945)," ujarHNW dalam keterangannya, Sabtu (15/3/2025). Pernyataan ini disampaikannya dalam rangka memperingati Hari Internasional Memerangi Islamofobia.
HNW mengatakan pendapat tersebut mempunyai landasan nan sangat kuat, ialah Resolusi PBB pada 15 Maret 2022 nan menetapkan tanggal 15 Maret sebagai Hari Internasional dalam Memerangi Islamofobia. Salah satu argumen dihadirkannya resolusi itu adalah peristiwa penembakan 51 muslim di masjid di Christchurch, Selandia Baru pada 15 Maret 2019 lampau dan banyak peristiwa Islamofobia lainnya. Selain peristiwa itu, tragedi nan menarget Islam, baik simbol maupun umat Islam seperti di Eropa utara, India, Myanmar, apalagi Israel, tetap terus terjadi.
"Semua komponen bangsa, terutama pemerintah, perlu sama-sama mendukung dan memperjuangkan penyelenggaraan resolusi ini. Termasuk para Khotib Jumat nan kerap disarankan untuk memberikan khotbah Jumat mengenai ancaman Islamofobia ini setiap menjelang alias sesudah tanggal 15 Maret," ujarnya.
Lebih lanjut, HNW menjelaskan sebagai salah satu negara kebanyakan berpenduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia sebagai negara norma dan demokratis, sudah selayaknya menjadi pionir negara-negara OKI menghadirkan regulasi/UU Anti-Islamofobia ini. Ia menjelaskan setidaknya ada dua materi pokok nan dapat dimasukkan ke dalam RUU alias patokan anti-Islamofobia, ialah dari segi internal dan eksternal.
HNW menjelaskan dari segi internal di level domestik Indonesia, faktanya tetap banyak orang nan phobia terhadap konsep Islam nan Rahmatan lil alamin secara komprehensif, meskipun mereka memeluk kepercayaan Islam, akibat dari berkembangnya mengerti sekularisme ekstrem dan liberalisme.
"Misalnya, kebencian dan penyerangan kepada simbol dan tokoh kepercayaan Islam di beberapa masjid. Selain itu, RUU ini dari sisi domestik, dapat memperkuat UU terkait, seperti UU nan mengatur harmoni kehidupan berakidah dan penolakan atas penodaan agama," ujarnya.
Sedangkan, dari sisi global, HNW menjelaskan RUU alias patokan ini dapat menjadi dasar kewenangan Pemerintah Indonesia dalam bertindak ketika terjadi perilaku Islamophobia di luar negeri.
"Misalnya, andaikan terjadi kasus pembakaran Al Quran alias pelecehan Islam di luar negeri, ada semacam prosedur tetap nan dapat dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, dalam perihal ini Kementerian Luar Negeri, untuk memanggil dan mendiskusikannya dengan Duta Besar negara terkait, sekalipun dengan tetap menghormati kedaulatan setiap negara," jelasnya.
HNW menyebut Indonesia bisa mengambil inspirasi dari RUU Memerangi Internasional Islamofobia nan sempat dibahas di Amerika Serikat. Salah satu patokan nan termuat dalam RUU itu adalah memberikan kewenangan kepada Pemerintah Amerika Serikat untuk memonitor dan memerangi tindakan-tindakan Islamofobia di luar negeri.
RUU ini sempat diusulkan pada 2021 lalu, tetapi kemudian kandas disahkan, dan sekarang sedang dalam proses untuk dibahas kembali. Hal serupa juga terjadi di Kanada.
HNW mengatakan angan terbesar para tokoh umat tentu dihadirkannya patokan Anti-Islamofobia ini adalah dalam corak undang-undang. Namun, andaikan perihal itu susah direalisasikan dalam waktu dekat, sementara keperluannya mendesak, maka dia berambisi agar Presiden Prabowo dapat menghadirkan aturannya dalam corak peraturan presiden (Perpres). Hal ini sejalan dengan konsep 'ratifikasi' suatu perjanjian internasional ke dalam norma Indonesia nan dapat dilakukan dengan undang-undang alias perpres.
"Memang Resolusi PBB ini bukan merupakan perjanjian internasional nan memerlukan proses ratifikasi. Namun, logika dan afinitas tersebut tetap dapat digunakan, terutama mengenai prosedur bagi Kemlu dalam bertindak memerangi Islamophobia sebagai materi muatan Perpres," tukasnya.
Wakil Ketua Majelis Syura Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini juga berambisi agar tidak ada golongan nan 'phobia' terhadap pendapat RUU alias Aturan Anti-Islamofobia in lantaran di banyak negara barat juga ada patokan serupa, ialah UU Anti Semitisme.
"Ada banyak negara nan membikin UU Anti Semitisme (melarang ujian kebencian kepada Yahudi) itu, meskipun ada banyak kritikan bahwa definisinya terlalu luas lantaran menyangkut Negara Israel dan Zionisme nan apalagi ditolak oleh banyak penduduk Yahudi sendiri baik di AS maupun di Israel, apalagi lantaran kejahatan-kejahatan kemanusiaan Israel terhadap Gaza terutama sejak 7 Oktober 2023," jelasnya.
"Berkaca terhadap itu, dan demi keadilan dan kemaslahatan, Indonesia sebagai personil PBB nan menyetujui Resolusi PBB itu, sebagaimana secara terbuka support itu juga disampaikan oleh Menteri Agama RI waktu itu; Yaqut Cholil Qoumas, maka semestinya Indonesia menindaklanjuti sikap resminya dengan menghadirkan UU Anti Islamofobia dengan cakupan nan lebih jelas, tidak multitafsir, untuk menguatkan toleransi dan harmoni kehidupan berakidah di antara umat beragama," pungkasnya.
(akd/akd)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu