ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Melalui sidang Mahkamah Konstitusi (MK) hari kamis, tanggal 26 Juni 2025, telah diputuskan arah baru bagi penyelenggaraan kerakyatan elektoral di Indonesia. Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 menetapkan bahwa pemisahan antara pemilu nasional (DPR RI, DPD, Presiden dan Wakil Presiden) bakal dipisahkan dari pemilu lokal/daerah (DPRD, Gubernur, Bupati, dan Wali Kota) mulai 2029. Dalih pemisahan tersebut mempertimbangkan dari aspek penyederhanaan secara teknis penyelenggaraan, penguatan kelembagaan partai, dan peningkatan kualitas demokrasi.
Pertanyaan mendasar dari putusan MK tersebut, apakah pemisahan antara pemilihan nasional dan lokal/daerah bakal memperkuat kerakyatan nan substantif, alias sekadar menyamarkan kegagalan struktural dalam membenahi sistem politik nan sudah jalan selama ini?
Demokrasi dalam Potongan Kalender
Pemilu serentak nan diamanatkan oleh UU 7/2017 sudah melangkah sejak 2019 dan 2024, nan dikenal dengan pencoblosan lima kotak (Presiden dan Wakil Presiden, DPR RI, DPD, DPRD I, dan DPRD II). Dalam pertimbangannya, MK berkilah bahwa penyelenggaraan pemilu dalam satu waktu (Pemilu lima kotak) menimbulkan kebingungan di pemilih, kelelahan dan beban kerja penyelenggara nan tinggi, dan melemahkan konsentrasi pembangunan daerah. Namun, pendekatan waktu semata dalam menilai mutu kerakyatan justru berisiko menyederhanakan persoalan struktural nan jauh lebih dalam.
Dalam teori institutionalism, seperti dikemukakan Theda Skocpol dan Peter Hall, lembaga bukan sekadar tempat menjalankan aturan, tetapi medium historis nan membentuk perilaku politik dan kapabilitas negara. MK, sebagai lembaga independen, berkedudukan sebagai arbiter nan menentukan kreasi pemilu bukan berasas tekanan politik jangka pendek, melainkan atas pertimbangan efisiensi dan beban administratif. Namun, skeptisisme muncul jika keputusan ini dianggap dipengaruhi oleh kepentingan elite nasional nan mau memisahkan dinamika politik pusat-daerah, misalnya untuk mengurangi pengaruh politik lokal terhadap pemilihan presiden.
Sementara itu, Peter Hall dengan historical institutionalism-nya menafsirkan pemisahan ini sebagai hasil path dependence dari perkembangan sistem pemilu Indonesia. Sejak desentralisasi 1999, pemilu lokal dan nasional sering tumpang tindih, menciptakan kompleksitas logistik dan politik. Putusan MK 2029 dapat dilihat sebagai respons terhadap akumulasi pengalaman tersebut, sekaligus sebagai critical juncture nan mengubah struktur pemilu di masa depan.
Keputusan MK berkarakter final dan mengikat dan kudu dilaksanakan oleh negara. Jika masalah utama justru berasal dari lemahnya pelembagaan partai, disfungsi birokrasi daerah, alias sentralisasi fiskal, maka memisahkan waktu pemilu hanyalah solusi kosmetik atas penyakit nan memerlukan terapi sistemik.
Jenuh alias Kurang Percaya?
Argumen MK tentang kejenuhan pemilih patut dikritisi. Partisipasi pemilih di Pemilu 2024 mencapai 82% (KPU, 2024), mengalami kenaikan jika dibandingkan Pemilu 2019 sebesar 81%. Ini menunjukkan bahwa tingkat kehadiran pemilih tetap sangat tinggi. Untuk Pileg 2024, partisipasi juga berada di nomor di atas 80%, meskipun ketimpangan representasi dan minimnya pilihan ideologis tetap jadi catatan.
Studi nan dilakukan Litbang Kompas (April 2024) mencatat bahwa 58% responden merasa jenuh dengan kampanye politik nan terus-menerus, bukan lantaran terlalu banyak pemilu, tetapi lantaran terlalu banyak politik tanpa substansi. Kandidat tidak melakukan kampanye terhadap hal-hal nan berkarakter substantif dan lebih mengandalkan money politic di akhir masa kampanye, apalagi dilakukan pada masa tenang.
Fenomena ini dapat dibaca melalui teori keletihan kerakyatan (democratic fatigue) oleh Colin Crouch, ialah di mana partisipasi publik tinggi secara angka, tetapi rendah secara makna lantaran rakyat tidak merasa bahwa pilihannya membawa perubahan nyata. Maka, masalah sesungguhnya bukan pada waktu pelaksanaan, tetapi pada kualitas pilihan politik nan ditawarkan.
Konflik Tak Terhindarkan
Dengan putusan MK nan memisahkan Pemilu antara pusat dan daerah, bakal muncul desinkronisasi politik. Presiden bisa berasal dari partai A, sementara kepala wilayah dari partai B alias independen nan tidak sejalan dengan kebijakan nasional. Ini menimbulkan potensi bentrok dalam penyelenggaraan program strategis nasional, seperti pembangunan infrastruktur, program kesehatan, alias pendidikan.
Dalam konsep governance mismatch, seperti dikemukakan oleh Fritz Scharpf, ketidaksinkronan antara level pemerintahan bisa menurunkan efektivitas kebijakan publik. Tanpa sistem koordinasi lintas waktu dan lintas lembaga nan kuat, kebijakan nasional bakal berhadapan dengan fragmentasi loyalitas politik di tingkat lokal. Misalnya, rumor seperti pengelolaan sumber daya alam (misalnya tambang alias hutan) seringkali menimbulkan bentrok lantaran kebijakan nasional tidak sepenuhnya memperhatikan kebutuhan dan dinamika lokal.
Di sisi lain, otonomi wilayah nan semestinya memberikan ruang bagi penyelesaian masalah di tingkat lokal justru terkadang tersendat oleh izin pusat nan terlalu kaku alias tumpang tindih. Hal ini memperburuk ketidakefektifan kebijakan dan memicu ketidakpuasan masyarakat, seperti terlihat dalam protes masyarakat budaya terhadap kebijakan agraria nan dianggap tidak mengakomodasi hak-hak mereka.
Partai Politik dan Dilema Kaderisasi
Salah satu argumen utama MK adalah agar partai politik mempunyai ruang memadai untuk melakukan kaderisasi dan seleksi calon secara lebih ideal dan tidak terjadi lagi kejadian di Pilkada 2024 ialah terdapat 37 kabupaten/kota diikuti oleh pasangan calon melawan kotak kosong namalain calon tunggal. Tapi pengalaman selama ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan nan signifikan antara panjangnya waktu dan kualitas rekrutmen politik. Sebaliknya, dengan rentang waktu nan lebih panjang, partai justru punya ruang lebih luas untuk bermusyawarah dengan kekuasaan secara transaksional.
Dalam kerangka teori oligarki oleh Robert Michels, disebutkan bahwa partai politik modern condong bergerak menuju oligarkisasi, di mana elite mini mengendalikan seluruh proses pencalonan dan keputusan politik. Pemisahan pemilu, alih-alih menumbuhkan kaderisasi, justru memberi waktu lebih panjang bagi elite partai untuk memperkuat patronase politik.
Transisi dan Kekosongan Kekuasaan
Salah satu implikasi langsung dari putusan MK adalah keharusan membikin masa transisi nan memadai, termasuk mengatur masa kedudukan kepala wilayah dan DPRD provinsi dan kabupaten/kota nan terpilih pada 2024. Jika Pemilu wilayah berikutnya baru digelar dua hingga dua separuh tahun kemudian, maka terdapat kekosongan konstitusional nan rawan dimanfaatkan.
Pengalaman penunjukan Penjabat (Pj) Kepala Daerah selama Pilkada 2020 dan 2024 menunjukkan praktik ini rentan intervensi politik. Jika masa kedudukan kepala wilayah diputuskan oleh pelaksana pusat (melalui penunjukan Pj), maka semangat kerakyatan lokal bisa tergantikan oleh praktik sentralistik nan tidak legitimatif.
Bagaimana dengan kedudukan DPRD di wilayah hasil pemilu 2024 nan bakal lenyap AMJ-nya tahun 2029? Hal ini bakal menimbulkan kekosongan jabatan. Selama ini tidak ada izin nan mengatur kekosongan kedudukan DPRD di wilayah ketika masa jabatannya habis, entah itu diperpanjang alias diperpendek.
Demokrasi Harus Menyatu, Bukan Terpisah
Demokrasi bukan sekadar urusan teknis, waktu dan tata langkah pemilu. Demokrasi adalah tentang legitimasi, representasi, dan partisipasi bermakna. Pemisahan Pemilu justru berisiko memecah siklus politik rakyat menjadi dua tahap nan terpisah dan tidak terkoneksi. Akibatnya, rakyat bisa bingung atas siapa nan bertanggung jawab atas nasib mereka secara langsung, kepala wilayah alias presiden?
Lebih jauh, jika semangat kerakyatan dimaknai sebagai penyelenggaraan kedaulatan rakyat secara menyeluruh, maka sistem nan memisahkan pemilu nasional dan lokal dalam rentang waktu nan lama justru mencederai kesinambungan politik penduduk negara. Hal ini bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat nan utuh, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.
Memperkuat, Bukan Memecah
Putusan MK 135/PUU-XXII/2024 membuka babak baru dalam perjalanan kerakyatan Indonesia. Namun arah perubahan ini menyisakan banyak tanda tanya. Apakah pemilu nan dipisah betul-betul meningkatkan kualitas demokrasi, alias hanya menggeser masalah ke ruang dan waktu lain?
Sebagaimana diingatkan oleh tokoh kerakyatan John Dewey, Demokrasi bukan semata corak pemerintahan, melainkan langkah hidup bersama. Maka, solusi atas kelelahan elektoral alias lemahnya partai bukanlah pada mengatur ulang kalender, melainkan membangun kelembagaan nan sehat, memperkuat pendidikan politik, dan menciptakan keadilan fiskal antara pusat dan daerah.
Demokrasi butuh kesinambungan, bukan pemisahan.
Musonif Afandi. Peneliti, Komisioner KPU Sidoarjo 2019-2024
(imk/imk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini