ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Kepergian Kwik Kian Gie tentu membikin kita kehilangan satu dari sedikit ahli ekonomi publik nan bisa menggabungkan intelektualitas dengan nilai dan keberanian. Kwik tidak sekedar mengerti info dan angka, tetapi juga mempunyai moral courage.
Keberanian moral itu nan membikin Kwik sering dikenal sebagai ahli ekonomi 'lone ranger'. Kwik tidak pernah takut berbeda walaupun kadang melangkah sendirian. Kwik selalu berpihak pada kepentingan publik dengan beragam pendapat nan logis dan kritis.
Kwik Kian Gie merupakan satu dari sedikit tokoh Tionghoa pada generasinya nan memilih tetap mempertahankan nama Tionghoa-nya secara utuh.
Anda tentu tetap ingat, pada 1966 Pemerintah Orde Baru membikin sebuah kebijakan nan mendorong penduduk keturunan Tionghoa untuk mengganti nama menjadi nama nan 'lebih bersuara Indonesia'. Banyak penduduk keturunan Tionghoa pada masa itu mengganti namanya demi penerimaan sosial dan kemudahan birokrasi.
Dengan tetap menggunakan nama aslinya, Kwik Kian Gie meniti kariernya sebagai pengusaha dan ekonom. Kwik kemudian memilih jalan nan lagi-lagi berbeda: keluar total dari bumi upaya dan masuk ke bumi politik di tahun 1987.
Dalam wawancara-nya kepada Majalah Tempo pada Agustus 2000, Kwik mengungkapkan argumen menarik kenapa dia keluar dari bumi upaya dan masuk ke bumi politik: "Saya sudah punya duit untuk membiayai semua nan saya butuhkan."
Perjalanan politik akhirnya membawa Kwik dipercaya sebagai Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan dan Industri (Menko Ekuin) pada Kabinet Persatuan Nasional nan dibentuk oleh Presiden Abdurrahman Wahid pada tahun 1999.
Kwik Kian Gie merupakan Menteri Tionghoa pertama di era reformasi. Munculnya Kwik sebagai Menteri saat itu mematahkan 'tabu politik' nan terbangun selama masa Orde Baru.
Kwik adalah simbol keberagaman nan substansial, bukan hanya sekedar 'kosmetik politik'. Ia menunjukkan contoh bahwa setiap anak bangsa, apapun latar belakangnya, mempunyai kewenangan dan tanggung jawab nan sama untuk mencintai dan berkontribusi bagi bangsa dan negara.
Mengawal Reformasi Ekonomi Pasca Krisis
Kwik Kian Gie dilantik sebagai Menko Ekuin Kabinet Persatuan Nasional pada 29 Oktober 1999, hanya 19 bulan setelah kurs rupiah terhadap US Dollar melemah pada level: Rp 16.900. Indonesia saat itu tetap berada dalam bayang - bayang krisis ekonomi nan melanda sejak tahun 1997.
Sebagai Gambaran, pada tahun 1998 ekonomi Indonesia tercatat mengalami kontraksi pada level 13,1% dengan inflasi nan sebesar 77,63%. Sebagai Menko Ekuin saat itu, Kwik tentu menghadapi tantangan besar untuk memulihkan perekonomian nan porak poranda akibat krisis dan mereformasi finansial negara.
Pemerintah saat itu juga mewarisi program Stand By Arrangement (SBA) dan Extended Fund Facility (EFF) sebuah program support jangka menengah dari International Monetary Fund (IMF) untuk negara-negara nan mengalami defisit neraca secara serius. IMF sendiri berkomitmen untuk memberikan support sebesar total 15 Milyar US Dollar lewat program ini.
Letter of Intent (LoI) pertama antara Indonesia dengan IMF untuk program ini pertama kali ditandatangani pada 31 Oktober 1997 oleh Presiden Soeharto. Sampai saat Presiden Abdurrahman Wahid menjabat, LoI antara Indonesia dengan IMF sudah ditandatangani sebanyak tujuh kali. Setiap LoI berkarakter evaluatif dan berisi komitmen baru alias lanjutan untuk memperoleh pencairan likuiditas dari IMF pada tiap tahapannya.
Menko Ekuin Kwik Kian Gie saat itu secara terbuka mempertanyakan dan mengkritik intervensi IMF dalam letter of intent nan memberikan banyak tekanan soal kebijakan fiskal dan privatisasi BUMN. Kwik beranggapan bahwa support dari IMF tidak bakal dapat menyelesaikan masalah ekonomi Indonesia, alih - alih justru menambah ketergantungan negara pada kreditor asing.
Kwik secara logis dan kritis menyampaikan pendapat mengenai pentingnya ekonomi nan berdaulat. Kwik beranggapan support luar negeri dari beragam lembaga kreditor asing saat itu sejatinya adalah 'jebakan' nan bakal mengakibatkan negara lama-kelamaan kehilangan kendali dan kedaulatan atas ekonominya sendiri.
Objektif di Setiap Zaman
Pada era Presiden Megawati Soekarnoputri, Kwik Kian Gie kembali dipercaya masuk kabinet sebagai Kepala Bappenas. Walau berada di dalam pemerintahan, Kwik tak kehilangan independensi berpikir. Ia tetap bersikap kritis dan objektif menyuarakan pandangan serta pemikiran nan terkadang berbeda dari arus utama.
Setelah pensiun dari posisi di pemerintahan, Kwik tidak pernah kehilangan semangatnya dalam menyuarakan pandangan dan gagasannya mengenai kebijakan ekonomi dan arah pembangunan Indonesia nan berkelanjutan.
Kwik selalu konsisten pada pemikiran nan logis dan objektif tentang gimana pertumbuhan ekonomi tidak berfaedah apa-apa tanpa pemerataan nan nyata. Ia percaya bahwa parameter makro ekonomi tidak boleh menjadi ilusi nan menutupi persoalan utama : disparitas sosial dan ekonomi.
Bagi Kwik Kian Gie, keberhasilan ekonomi bukan hanya tercermin dari pertumbuhan ekonomi nan baik, tingkat inflasi nan terkendali alias neraca perdagangan nan positif.
Tapi lebih daripada itu, gimana negara dapat mengangkat taraf hidup dan kesejahteraan semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali. Pandangan inilah nan selalu menjadi pondasi pemikiran dari beragam kritiknya nan objektif terhadap kebijakan ekonomi di setiap zaman.
Kwik Kian Gie bakal selalu dikenang sebagai ahli ekonomi nan tidak pernah takut berbeda.
Ketika banyak intelektual dan kreator kebijakan memuji nomor dan statistik makro ekonomi, Kwik kadang bersuara dengan lugas dan objektif menyuarakan realitas riil nan tersembunyi di kembali statistik.
Kwik Kian Gie telah tiada, dia meninggalkan sebuah warisan berbobot berupa sikap dan pemikiran nan bakal terus relevan di tiap zaman: bahwa kebijakan nan paling baik bukanlah nan paling populer, melainkan kebijakan nan paling betul dan nan paling berpihak pada rakyat.
Terimakasih dan Selamat Jalan Pak Kwik!
A Renard Widarto. Pengusaha dan Doktor Ilmu Ekonomi.
(rdp/rdp)