Merawat Asa Good Governance Walau Dirusak Perilaku Koruptif

Sedang Trending 4 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta -

Ketika ruang publik terus dibanjiri info dan kebenaran tentang semakin maraknya korupsi dalam beragam modus, cita-cita berbareng untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan nan baik, bersih dan efektif (Good Governance) sekarang tampak ibaratkan isapan jempol. Bahkan, reformasi birokrasi nan telah melangkah puluhan tahun pun terlihat kandas mereduksi perilaku koruptif banyak oknum pada sejumlah lembaga negara dan lembaga daerah.

Banyak komponen masyarakat seperti sudah kehabisan kata alias ungkapan untuk mengekspresikan rasa marah dan kecewa apalagi rasa sakit, saat menyimak dan memahami info tentang kasus-kasus korupsi terbaru. Dan, saat mengenangkan kembali komitmen bangsa dan riwayat kerja memberantas korupsi nan sudah berjalan nyaris tiga dekade, nyata sekali nan tampak di permukaan itu nihil. Sebagian apalagi sudah pasrah dan enggan membahas perilaku koruptif di negara ini.

Eliminasi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) menjadi kehendak berbareng dan dikukuhkan sebagai komitmen bangsa nan dicanangkan tahun 1998. Dikenal sebagai produk reformasi, nan salah satu turunannya adalah pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan tanggungjawab melakukan reformasi birokrasi.

Tujuan strategisnya adalah mewujudkan good governance itu. Artinya, lebih dari tiga dasawarsa sudah kerja pemberantasan korupsi dan reformasi birokrasi dilaksanakan dengan konsisten. Masyarakat pun mencatat bahwa sudah begitu banyak koruptor ditangkap, diadili dan dipernjara, termasuk koruptor nan pernah menjabat menteri, gubernur alias bupati hingga level oknum pejabat dan pegawai rendahan pada kementerian dan lembaga (K/L) maupun lembaga daerah.

Tragis, lantaran semua catatan historis itu nyatanya tidak menumbuhkan pengaruh jera. Alih-alih terjadi reduksi, perilaku koruptif banyak oknum pada K/L, termasuk lembaga daerah, justru semakin berani, ganas, sadis dan tak jarang dilakukan dengan terang-terangan. Bahkan per skala, nilai korupsi pun terus menggelembung; dari puluhan alias ratusan miliar di tahun-tahun terdahulu, menjadi puluhan dan ratusan triliun per hari-hari ini.

Dalam beberapa pekan terakhir ini saja, ruang publik nyata-nyata dijejali info dan buletin tentang korupsi mulai dari anggaran untuk program support sosial (bansos). Dari total anggaran program bansos sebesar Rp 500 triliun, tak kurang dari separuhnya tidak tepat sasaran.

Kemudian, korupsi di tubuh manajemen Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) merugikan negara Rp 11,7 triliun; korupsi di tubuh manajemen PT Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan (ASDP) menyebabkan negara rugi Rp. 893 miliar. Kerugian negara dari kasus korupsi Jiwasraya mencapai Rp 16,8 triliun.

Dalam kasus korupsi tata niaga timah, negara rugi sampai Rp 300 triliun. Dan, ruang publik pun akhirnya kudu menerima ledakan luar biasa nan disulut oleh info tentang kasus mega korupsi terbaru, ialah kasus mengoplos bensin nan mengakibatkan kerugian negara sampai Rp 968,5 triliun. Dari mega kasus ini, masyarakat sebagai konsumen pun jelas sangat dirugikan.

Di masa lalu, kasus mega korupsi nan menyita perhatian masyarakat dalam rentang waktu nan sangat lama adalah kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) nan diberikan Bank Indonesia kepada puluhan bank lantaran mengalami masalah likuiditas ketika terjadi krisis moneter 1998. BI menyalurkan BLBI sampai Rp 147,7 triliun dan diterima 48 bank.

Hasil audit BPK terhadap pemanfaatan biaya BLBI oleh 48 bank itu mengindikasikan terjadinya penyimpangan sebesar Rp 138 triliun. Selain kasus BLBI, kasus lainnya adalah korupsi pembiayaan proyek e-KTP pada rentang waktu 2010-2012. Dalam proyek ini, negara rugi Rp 2,314 triliun.

Tak hanya memprihatinkan, tetapi fakta-fakta ini sangat mengerikan, utamanya saat membayangkan masa depan anak-cucu bangsa. Jika perilaku koruptif para oknum di K/L demikian galak seperti sekarang ini, tetap adakah angan dan keahlian untuk mewujudkan good governance? Model reformasi birokrasi seperti apa lagi nan dibutuhkan negara agar good governance itu bisa diwujudkan?

Patut diingatkan lagi dan juga digarisbawahi bahwa kehendak berbareng mewujudkan good governance tak boleh pupus, kendati terus menerus dirusak oleh perilaku serakah dan koruptif dari banyak oknum nan diberi amanah melaksanakan tugas pokok dan kegunaan (Tupoksi) semua K/L dan Tupoksi semua pemerintah daerah.

Dalam konteks itu, semua K/L serta semua pemerintah wilayah patut untuk membuka lagi, memahami dan memaknai pernyataan bersuara imbauan dari Presiden Prabowo Subianto ketika memaparkan materi pembekalan di forum rapat ketua (Rapim) TNI-Polri di Jakarta, pada akhir Januari 2025. Presiden, saat itu, menegaskan sembari mengingatkan bahwa semua Undang-undang (UU), peraturan presiden (Perpres), peraturan pemerintah serta produk norma lainnya tidak bakal ada makna dan artinya jika tidak ditegakkan dengan konsisten.

Terjemahan dari penegasan presiden ini adalah perintah kepada semua K/L dan pemerintah wilayah untuk melaksanakan semua UU, Perpres, peraturan pemerintah serta produk norma lainnya dengan betul dan baik serta konsisten. Tujuannya utamanya adalah untuk mewujudkan good governance demi kebaikan bangsa-negara, sekarang dan di masa depan.

Harap juga diingat bahwa kegagalan mewujudkan good governance nan berkali-kali bisa berakibat sangat fatal, nan biasanya bakal diwujudnyatakan dengan menyuarakan ketidakpuasan dan ketidakpercayaan banyak organisasi kepada regulator alias K/L dan lembaga daerah.

Berpijak pada rentetan kebenaran kasus korupsi itu, tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa puluhan tahun kerja pemberantasan korupsi rupanya tetap minim progres. Sudah menjadi kebenaran bahwa korupsi semakin marak dalam satu dasawarsa terakhir, dengan ragam modus dan skala nan begitu besar jika merujuk pada nilai kerugian negara.

Selain itu, patut pula untuk mengatakan bahwa puluhan tahun reformasi birokrasi melangkah tetap belum dapat mengeliminasi kesempatan tindak pidana korupsi dan juga perilaku koruptif oknum pada sejumlah K/L dan lembaga daerah.

Bagi masyarakat kebanyakkan, skala korupsi nan justru terus membesar hingga ratusan triliun lebih menggambarkan tidak semua K/L dan pemerintah wilayah menunjukan itikad baik memberantas korupsi di lingkungan kerja masing-masing. Sebaliknya, nan tampak adalah terbentuknya golongan alias organisasi kejahatan di tubuh sejumlah K/L untuk merampok finansial negara dan membohongi rakyat.

Dari kecenderungan seperti itu, konklusi lain nan layak dimunculkan adalah lumpuh alias tidak berfungsinya pengawasan internal di sejumlah K/L. Tugas pokok dan kegunaan (Tupoksi) Inspektorat Jenderal (Itjen) melakukan pengawasan internal pada K/L terkesan tidak melangkah efektif.

Sebagai bagian dari upaya merawat asa mewujudkan good governance, pada waktunya nanti, pemerintah berbareng DPR perlu merumuskan strategi baru pemberantasan korupsi, serta merancang model lain reformasi birokrasi untuk mengeliminasi perilaku koruptif oknum pada K/L dan lembaga daerah. Dan, tak kalah pentingnya adalah memulihkan Tupoksi Inspektorat Jenderal alias pengawasan pada semua K/L dan daerah.

Bambang Soesatyo, Anggota DPR RI; Ketua MPR RI ke-15; Ketua DPR RI ke-20; Ketua Komisi III DPR RI ke-7; Dosen Tetap Pascasarjana (S3) Ilmu Hukum Universitas Borobudur, Universitas Jayabaya dan Universitas Pertahanan (UNHAN)

(ega/ega)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu