Musik, Kritik, Dan Diskursus Publik

Sedang Trending 3 minggu yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta - Di tengah arus globalisasi dan dinamika politik nan semakin kompleks, musik telah lama menjadi medium untuk menyampaikan kritik sosial di Indonesia. Lagu-lagu nan mengungkapkan ketidakpuasan dan perlawanan terhadap ketidakadilan sering menjadi sasaran sensor dan pelarangan. Salah satu contohnya adalah lagu Bayar Bayar Bayar dari band Sukatani, nan lantaran liriknya menyebut polisi, mengundang dugaan tindakan represif dari pihak berwenang.

Kasus serupa bukan kali ini saja terjadi. Sebelumnya, lagu-lagu karya Iwan Fals, Slank, alias Efek Rumah Kaca juga pernah mendapat sorotan lantaran dianggap mengusik narasi resmi dan mengkritisi kebijakan nan berlaku. Padahal musik, sebagai ekspresi kritis, kudu dipahami sebagai bagian dari diskursus publik—suatu arena di mana ide-ide, nilai, dan pengalaman kolektif diuji dan dinegosiasikan.

Representasi Simbolik

Dalam perspektif antropologi musik, lagu-lagu kritik sosial ini bukan hanya sekadar intermezo alias ekspresi artistik, melainkan juga representasi simbolis dari perjuangan rakyat. Musik menyimpan nilai-nilai historis, kultural, dan kontekstual nan mencerminkan realitas hidup (hingga ketidakadilan) nan dirasakan masyarakat. Lagu Bayar Bayar Bayar tidak hanya menyuguhkan irama nan energik, melainkan juga lirik nan menggugah kesadaran bakal penyalahgunaan wewenang.

Melalui musik, para seniman berupaya mengartikulasikan keresahan sosial nan sering kali diabaikan oleh struktur kekuasaan. Oleh lantaran itu, indikasi intimidasi dari abdi negara nan membikin Sukatani memohon maaf dan menarik lagunya nan telah beredar luas itu tidak hanya dilihat sebagai tindakan sensor, tetapi juga sebagai upaya untuk membungkam bunyi kritis nan mempunyai potensi untuk mengubah paradigma sosial.

Di satu sisi, musik adalah salah satu corak ekspresi budaya nan paling dinamis. Musik mempunyai daya transformatif nan dapat menstimulasi perubahan sosial. Sejarah mencatat bahwa lagu-lagu seperti Sunday Bloody Sunday dari band U2 alias Redemption Song (Bob Marley) telah menjadi simbol pergerakan dan perlawanan di beragam bagian dunia.

Dalam konteks Indonesia, keberadaan lagu-lagu kritik sosial mencerminkan kondisi masyarakat nan tetap bergulat dengan ketimpangan ekonomi, sosial, dan politik. Lagu-lagu nan mendapat penolakan alias sensor ini mempunyai daya serupa, ialah sebagai pemicu diskursus dan mobilisasi komunal. Penyanyi dan pembuat lagu nan menyuarakan kritik ini sering menjadi sasaran penindasan lantaran dianggap mengganggu tatanan resmi. Musik, dalam konteks ini, bukan hanya sebagai media komunikasi, tetapi sebagai corak "energi kritis" nan menantang struktur dominan.

Kekuasaan

Dari perspektif pandang teori kekuasaan, tindakan sensor terhadap lagu-lagu kritis merupakan manifestasi dari upaya negara untuk mengendalikan wacana publik. Filsuf Jerman Jurgen Habermas (2010) menyebut diskursus publik adalah arena di mana argumen-argumen logis dan kritik nan mendalam dapat muncul untuk membentuk opini bersama.

Sensor lagu seperti Bayar Bayar Bayar menghalang proses perbincangan tersebut, sehingga mengukuhkan struktur kekuasaan nan tidak memberikan ruang bagi keberagaman suara. Dalam perihal ini, musik berkedudukan sebagai corak resistensi simbolik nan mempunyai kekuatan untuk memicu perdebatan kritis tentang keadilan sosial dan kebebasan berekspresi.

Dengannya, intimidasi terhadap lagu ini merupakan manifestasi represivitas simbolik politik negara. Menurut Bourdieu (1994), bahasa dan simbol, termasuk musik, merupakan modal simbolik nan dapat memperkuat alias melemahkan struktur kekuasaan. Negara, melalui kebijakan-kebijakan represif, berupaya mengontrol narasi nan beredar di masyarakat.

Intimidasi terhadap lagu Bayar Bayar Bayar merupakan upaya untuk membungkam bunyi kritis nan mengganggu tatanan nan telah mapan. Musik nan mengandung kritik sosial dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas dan legitimasi kekuasaan. Dengan mengekang ekspresi artistik, negara mencoba untuk mengukuhkan hegemoni budaya melalui pengendalian wacana—sebuah strategi nan secara tidak langsung juga menghalang munculnya penemuan dan perbincangan kritis di ruang publik.

Diskursus Kaya Makna

Kritik harusnya dibaca sebagai diskursus nan kaya bakal makna. Semakin banyak masyarakat memberikan kritik terhadap negara, semestinya semakin baik. Karena, dalam konteks demokrasi, masyarakat bisa mengkritisi kebijakan negara. Warga berkuasa memastikan adanya respons (positif) ketika ada masalah dalam tata kelola negara.

Filsuf politik Kanada Will Kymlicka (1995) menekankan bahwa pengakuan terhadap kewenangan kolektif suatu golongan merupakan komponen kunci dalam keadilan multikultural. Dalam konteks Indonesia, kebijakan nan mengabaikan keberagaman identitas—misalnya marginalisasi golongan minoritas melalui sensor alias pembatasan ekspresi budaya—merupakan pelanggaran terhadap kewenangan budaya. Kymlicka mengusulkan bahwa setiap kelompok, tidak terkecuali golongan etnis dan budaya, kudu mendapatkan ruang untuk mengekspresikan identitasnya secara utuh dan setara dalam narasi nasional, termasuk Sukatani sebagai golongan seniman musik.

Dengan demikian, upaya untuk mengedepankan nilai-nilai keadilan, kebenaran, dan kebebasan dalam wacana musik kudu terus didorong, agar setiap kritik sosial nan terkandung dalam lagu tidak hanya menjadi bunyi nan teredam, tetapi juga menjadi katalis bagi transformasi dan perbaikan struktur sosial nan lebih setara dan inklusif.

Ilmuwan politik Inggris, Chantal Mouffe (2013), menekankan bahwa bukan bentrok itu sendiri nan kudu dihindari, melainkan langkah mengelola perbedaan melalui perbincangan nan terbuka dan konstruktif. Dengan demikian, negara kudu membuka ruang bagi perbedaan pendapat dan kritik nan dinamis, tanpa mengedepankan penindasan alias sensor. Ini bakal memungkinkan masyarakat untuk berkontribusi dalam perumusan kebijakan nan lebih inklusif dan responsif.

Pemerintah kudu memandang kritik sebagai katalis untuk perbaikan, bukan sebagai ancaman nan kudu diatasi dengan intimidasi. Dengan menerapkan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi, Indonesia dapat membangun masyarakat nan lebih setara dan inklusif—di mana keberagaman budaya dan identitas menjadi kekayaan berbareng nan memperkuat kohesi sosial dan legitimasi pemerintahan.

Purnawan Andra alumnus Governance & Management of Culture Fellowship Program di Daegu Catholic University Korea Selatan

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu