ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta beserta tiga pengadil lainnya ditetapkan sebagai tersangka penerimaan suap mengenai putusan lepas alias ontslag perkara korupsi ekspor crude palm oil (CPO) alias bahan baku minyak goreng. Kasus suap ini dinilai sebagai corak pengkhianatan terhadap rakyat.
Pakar Hukum dan Pembangunan Hardjuno Wiwoho awalnya mengaku heran atas dugaan suap Rp 60 Miliar nan menyeret Ketua PN Jaksel beserta tiga hakiml lainnya. Dia menilai kasus tersebut buka sekadar pelanggaran etik, tapi juga penjualan hukum.
"Kalau pengadil bisa dibeli oleh korporasi, apa lagi nan tersisa dari negara norma kita? Ini bukan sekadar pelanggaran etik, ini adalah penjualan norma kepada pemilik modal," kata Hardjuno dalam keterangannya, Kamis (17/4/2025).
Selain itu, dia juga menilai kasus suap nan korporasi tersebut jauh lebih rawan daripada korupsi birokrasi biasa. Bila korupsi birokrasi merampok anggaran, maka suap korporasi merampok sistem.
"Ini beda kelas. Korupsi birokrasi itu mencuri dana, tapi suap korporasi membajak norma demi melanggengkan kekuasaan ekonomi. Mereka tidak hanya menghindari hukuman, tetapi mereka membeli keadilan dan mengatur arah negara sesuai kepentingan mereka," jelasnya.
"Bayangkan, negara menggelontorkan triliunan rupiah untuk subsidi minyak goreng demi rakyat. Tapi di belakang layar, korporasi justru menyuap pengadil agar mereka bebas dari jerat hukum. Itu bukan hanya penghinaan terhadap negara, tapi pengkhianatan terhadap rakyat," sambung dia.
Dia menyebut kasus ini menggambarkan sungguh tidak berdayanya rakyat jika korporasi besar bisa membeli putusan hakim. Karena itu, dia juga mendesak agar pembenahan besar-besaran dilakukan di tubuh lembaga peradilan.
"Ketika korporasi besar bisa membeli putusan, maka rakyat mini tak punya angan di hadapan hukum. Kalau ada Rp 60 Miliar nan mengalir ke ruang sidang, berfaedah ada sistem nan sudah bobrok sejak lama dan dibiarkan. Kita perlu audit total, bukan hanya perkara, tapi siapa saja nan bermain di kembali layar," ujarnya.
Lebih lanjut, Hardjuno kembali menekankan pentingnya pengesahan dan penerapan Undang-Undang Perampasan Aset sebagai instrumen utama penindakan dan pencegahan. Menurutnya, pelaku suap seperti ini tidak cukup hanya dihukum penjara.
"Kalau duit hasil kejahatan tidak dirampas, maka penjara hanya jadi jeda. Mereka bakal tetap hidup makmur setelah bebas. UU Perampasan Aset bakal memastikan bahwa hasil suap dan korupsi dikembalikan ke negara, dan pelaku tidak bisa lagi membeli kebebasan dengan duit kotor. Ada pengaruh jera juga dengan penerapan UU tersebut," tegasnya.
Sebelumnya, Ketua PN Jaksel ditetapkan sebagai tersangka mengenai kasus suap penanganan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Selain itu, ada pula 3 hakim, serta panitera muda pada PN Jakarta Utara dan pengacara nan turut ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini.
Kasus suap dan gratifikasi itu berangkaian dengan vonis onstslag alias putusan lepas pada kasus korupsi ekspor bahan baku minyak goreng. Majelis pengadil saat itu memberikan putusan lepas pada terdakwa korporasi.
Tiga pengadil itu adalah pengadil Agam Syarif Baharudin, pengadil Ali Muhtaro, dan pengadil Djuyamto. Ketiganya diduga menerima duit suap senilai Rp 22,5 miliar atas vonis lepas tersebut.
Tiga pengadil itu bersekongkol dengan Muhammad Arif Nuryanta selaku Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan; Marcella Santoso dan Ariyanto selaku pengacara; serta panitera muda pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Wahyu Gunawan.
(maa/maa)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini