Pemilu Jerman: Perubahan Politik Dan Pengaruhnya Bagi Asia

Sedang Trending 4 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta -

Partai konservatif Jerman, Uni Kristen Demokrat (CDU) dan mitranya di Bavaria, Uni Kristen Sosial (CSU), memenangkan pemilu nasional pada Minggu (23/02). Kemenangan ini menempatkan pemimpin CDU, Friedrich Merz, dalam posisi kuat untuk menjadi kanselir Jerman berikutnya, memimpin negara dengan ekonomi terbesar di Eropa.

Pemilu ini berjalan di tengah meningkatnya ketegangan antara Uni Eropa dan Amerika Serikat, nan diperburuk oleh kebijakan Presiden Donald Trump. Kebijakan tersebut mencakup pendekatan garang terhadap perang Rusia-Ukraina, support terhadap aktivitas populis sayap kanan di Eropa, serta rencana tarif impor nan dapat merugikan ekonomi Eropa. Ketegangan ini mendorong seruan bagi Uni Eropa untuk mengurangi ketergantungan pada Washington dalam perihal pertahanan dan merancang strategi geopolitik nan lebih mandiri.

Merz menyatakan bahwa Eropa kudu mencapai "kemerdekaan" dari AS dan menyerukan penguatan kerja sama pertahanan dalam blok Uni Eropa.

Tantangan dari Cina

Selain menghadapi hubungan nan tegang dengan AS dan Rusia, pemerintahan Jerman nan baru juga kudu berurusan dengan kebijakan Cina nan semakin tegas.

Sebagai mitra jual beli utama Jerman, total perdagangan bilateral antara kedua negara mencapai €246,3 miliar (Rp4.248 triliun) pada tahun 2024. Namun, Uni Eropa tidak hanya memandang Cina sebagai mitra, tetapi juga sebagai pesaing dan "saingan sistemik."

Saat dimintai tanggapan mengenai hasil pemilu Jerman, ahli bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Lin Jian, menyatakan kesiapan Beijing untuk bekerja sama dengan pemerintahan baru guna meningkatkan hubungan bilateral.

Xuewu Gu, guru besar hubungan internasional di University of Bonn, memperkirakan bahwa pemerintahan baru Jerman kemungkinan bakal melonggarkan pembatasan terhadap investasi Tiongkok. Ia juga meyakini bahwa Jerman, berbareng Uni Eropa, bakal mendorong kesepakatan perdagangan dan investasi dengan Beijing.

"Jika perang jual beli dengan AS terjadi, Jerman tidak punya pilihan selain mempererat kerja sama dengan Cina," kata Gu.

Stabilitas dalam hubungan India dengan Jerman

Meskipun Jerman selama ini berfokus pada pasar Cina, hubungan dengan India sebagai mitra ekonomi nan berkembang pesat, semakin menarik perhatian. Nilai perdagangan bilateral antara Jerman dan India mencatat rekor tertinggi sebesar €30,9 miliar (Rp531,6 triliun) pada tahun 2024.

Pemerintah Jerman juga telah menerapkan beragam kebijakan untuk menarik tenaga kerja terampil dari India guna mengatasi kekurangan tenaga kerja dalam negeri.

Gurjit Singh, mantan duta besar India untuk Jerman, menegaskan bahwa hubungan antara kedua negara telah dibangun dengan kokoh oleh CDU dan SPD (Partai Demokrat Sosial), sehingga semestinya tidak mengalami perubahan drastis.

Ia juga menekankan bahwa bumi sedang mengalami pergeseran geopolitik nan cepat, dengan hubungan antarnegara dipengaruhi oleh dinamika baru.

"India memandang Jerman dan Eropa sebagai poros krusial dalam tatanan multipolar dunia. Dengan hubungan nan sudah terjalin baik, kami tidak mengantisipasi adanya gejolak besar," ujarnya.

Gulshan Sachdeva, kepala koordinator Global South Centre of Excellence, menambahkan bahwa Merz dapat memainkan peran krusial dalam membentuk Eropa nan lebih independen, terutama di tengah ketegangan trans-Atlantik.

"Rusia adalah tantangan strategis, sementara kekecewaan Jerman terhadap Cina semakin meningkat. Selain itu, Merz juga mempertanyakan masa depan NATO dan opsi pencegahan nuklir," jelasnya.

Sachdeva menilai bahwa situasi ini dapat membuka kesempatan bagi India untuk memperkuat kemitraan dengan Eropa, terutama jika Jerman dan Uni Eropa mengangkat kebijakan luar negeri nan lebih otonom.

Dapatkah Merz bekerja sama dengan Taliban dalam perihal migrasi?

Selama kampanye, Merz berjanji bakal melakukan reformasi besar terhadap kebijakan suaka Jerman. Janji ini muncul setelah serangkaian serangan mematikan nan diduga dilakukan oleh pencari suaka, nan memperkeras sentimen publik terhadap migrasi ilegal.

Situasi ini turut menguntungkan partai sayap kanan Alternative for Germany (AfD), nan meraih 20,8% suara—hasil tertinggi mereka di tingkat federal.

Merz berjanji bakal memperketat kontrol perbatasan dan mempercepat deportasi pencari suaka nan permohonannya ditolak, termasuk ke Afghanistan. Ia apalagi menyatakan kesiapannya untuk bermusyawarah dengan Taliban guna memfasilitasi deportasi imigran Afghanistan.

Mojib Atal, peneliti migrasi di Friedrich-Alexander University Erlangen-Nrnberg (FAU), memperkirakan bahwa pemerintahan baru bakal mengangkat kebijakan imigrasi nan lebih ketat.

Namun, beberapa master Afghanistan memperingatkan bahwa keterlibatan Jerman dengan Taliban dapat memberikan legitimasi terhadap golongan fundamentalis tersebut.

Wazhma Tokhi, aktivis hak-hak wanita Afghanistan nan sekarang tinggal di Jerman, mengecam buahpikiran negosiasi dengan Taliban.

"Ini bukan hanya mengkhawatirkan, ini adalah pengkhianatan terhadap perempuan, aktivis, dan pengungsi Afghanistan nan berambisi pada komitmen Jerman terhadap kewenangan asasi manusia," katanya kepada DW.

Tokhi memperingatkan bahwa setiap perbincangan dengan Taliban kudu disertai tuntutan tegas mengenai kewenangan asasi manusia, terutama hak-hak perempuan.

"Kurang dari itu berfaedah Jerman ikut berkontribusi dalam penindasan mereka," tambahnya.

Sikap Jerman terhadap Iran dan Israel

Di Iran, media pemerintah meliput pemilu Jerman secara luas, terutama menyoroti peningkatan bunyi AfD. Beberapa analis Iran berambisi pemerintahan baru Jerman bakal mengambil sikap lebih keras terhadap Teheran.

Di sisi lain, keputusan Merz untuk mengundang Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, ke Jerman menarik perhatian. Langkah ini bertentangan dengan surat perintah penangkapan nan dikeluarkan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) terhadap Netanyahu atas dugaan kejahatan perang di Gaza. Undangan ini dipandang sebagai sinyal kuat terhadap rezim Iran.

Bagaimana dampaknya bagi Indonesia?

Di Indonesia, master hubungan internasional Universitas Indonesia, Evi Fitriani, menilai bahwa pemerintahan baru Jerman kemungkinan tidak bakal membawa perubahan besar dalam hubungan bilateral.

"Jerman telah lama menjadi mitra utama Eropa bagi Indonesia, terutama dalam perdagangan dan rumor lingkungan," ujarnya.

Namun, dia juga memandang kesempatan bagi Indonesia untuk mempererat kerja sama ekonomi dengan Jerman, terutama di tengah perubahan arah kebijakan luar negeri Eropa nan lebih berdikari dari AS.

"Eropa selama ini erat dengan AS. Namun, kebijakan Trump nan lebih isolasionis memberi kesempatan bagi Asia dan Eropa untuk membangun hubungan nan lebih erat," jelasnya.

"Jerman konsentrasi pada perdagangan, sementara Asia memerlukan investasi, teknologi, dan mitra dagang. Ini adalah kesempatan nan kudu dimanfaatkan," tambahnya.

Artikel ini diadaptasi dari DW berkata Inggris.

(haf/haf)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu