Pilu Warga Palestina Ditembaki Saat Antre Makanan Di Gaza

Sedang Trending 4 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta -

Kurang lebih seminggu lalu, Mahmoud Qassem kehilangan putranya, Khader. Remaja berumur 19 tahun itu dilaporkan tewas saat sedang berupaya mencapai pusat pengedaran makanan nan dikelola Yayasan Kemanusiaan Gaza (Gaza Humanitarian Foundation/GHF), lembaga support nan didukung Amerika Serikat, di wilayah Gaza tengah.

"Terakhir kali saya dan ibunya mendengar berita dari Khader pukul 11 malam. Dia bilang berada di tempat aman, dia pergi ke pusat pengedaran Netzarim, dan saya sempat berpesan agar dia berhati-hati," kata Qassem kepada DW dari sebuah tenda di Kota Gaza, tempat keluarganya sekarang mengungsi.

"Jam satu pagi saya mencoba meneleponnya lagi, tapi ponselnya tidak aktif. Saya mulai cemas. Tidak ada berita sama sekali hingga Jumat siang jam dua. Rasanya seperti ada api membakar dada saya," ujar laki-laki berumur 50 tahun itu.

Qassem kemudian pergi dan memeriksa sejumlah rumah sakit di Gaza tengah. Di sanalah dia mengetahui bahwa Khader telah tewas. Jenazahnya baru ditemukan setelah berkoordinasi dengan militer Israel. Dari kondisi tubuhnya, Khader diketahui meninggal akibat beberapa luka tembak.

"Seorang anak 19 tahun nan apalagi belum sempat menjalani hidupnya, semuanya demi mengambil satu kotak bantuan," ujarnya nyaris tidak kuasa menahan air mata. Dia menambahkan bahwa dirinya sebenarnya tidak mau anaknya pergi, tetapi Khader merasa bertanggung jawab menafkahi keluarga.

"Saya kehabisan kata-kata menggambarkan situasi di sini. Orang-orang rela mengorbankan diri demi memperkuat hidup. Hanya Tuhan nan tahu apa nan kami alami. Tidak ada nan peduli, tidak Hamas, tidak Israel, tidak negara-negara Arab, tidak seorang pun."

Makanan dan pasokan support lainnya sangat langka di Gaza

Laporan kekerasan, luka-luka, hingga kematian nan nyaris terjadi setiap hari di sekitar pengedaran support menyoroti realita tak tertahankan nan dihadapi 2,3 juta masyarakat Gaza. Warga Gaza nyaris sepenuhnya berjuntai pada pasokan nan masuk melalui perlintasan dengan Israel.

Sejak Oktober 2023, nyaris seluruh masyarakat Gaza telah mengungsi. Menurut Kementerian Kesehatan Palestina, sekitar 57.000 orang, banyak di antaranya wanita dan anak-anak, telah tewas dalam serangan Israel. Analisis pada Mei lampau menunjukkan bahwa 93 persen populasi nan tersisa mengalami kerawanan pangan akut.

Kelangkaan makanan dan kebutuhan dasar lainnya tetap terjadi, apalagi setelah PBB kembali mengirimkan support dan tiga pusat pengedaran baru dibuka. Pusat-pusat itu dijalankan oleh GHF, lembaga support AS-Israel, akibat blokade Israel nan berjalan nyaris tiga bulan.

Pihak Israel berdalih, blokade dilakukan lantaran Hamas mencuri support dan menggunakannya untuk membiayai operasinya. Namun, klaim ini dibantah oleh PBB dan beragam lembaga kemanusiaan internasional maupun lokal nan telah lama mempunyai jaringan pengedaran support nan mapan di Gaza.

Truk-truk support di Gaza berulang kali dijarah, baik oleh golongan bersenjata maupun penduduk sipil nan putus asa mencari makanan. Di saat nan sama, militer Israel terus meningkatkan serangan udara dan mengeluarkan perintah pemindahan massal di sebagian besar wilayah utara dan selatan Gaza.

Saeed Abu Libda, seorang ayah lima anak berumur 44 tahun, baru-baru ini sukses merebut satu karung tepung dari sebuah truk support nan melintas di dekat Khan Younis. "Saya tahu ini berisiko, tapi kami kudu makan," ujarnya kepada DW melalui sambungan telepon, lantaran wartawan asing dilarang masuk ke Gaza.

Menurut Abu Libda, ribuan orang saat itu tengah menunggu kehadiran truk support ketika dua tembakan terdengar. "Saya memandang orang-orang jatuh ke tanah, ada nan terluka, ada nan tubuhnya hancur berkeping-keping. Saya sendiri terkena pecahan peluru di perut, tapi syukurlah hanya luka ringan."

Ratusan orang tewas di letak pengedaran makanan

Kementerian Kesehatan di Gaza, nan berada di bawah kendali Hamas, melaporkan bahwa lebih dari 500 orang tewas dalam beberapa pekan terakhir akibat serangan udara, tembakan, dan pengeboman oleh Israel. Menurut pejabat kesehatan, sebagian besar korban tewas saat tengah menunggu di letak pengedaran support alias di sekitar truk-truk pembawa makanan.

Namun, klaim tersebut dibantah oleh Kementerian Luar Negeri Israel. Dalam sebuah unggahan di platform media sosial X pada Selasa (01/07), Israel menuduh Hamas menembaki penduduk sipil sendiri demi menyebarkan info sesat.

Israel menyatakan bahwa kesaksian dari penduduk Gaza menunjukkan bahwa Hamas "menyebarkan klaim tiruan nan menyalahkan Pasukan Pertahanan Israel (IDF), melebih-lebihkan jumlah korban, dan menyebarkan rekaman palsu."

Sekitar 130 organisasi kemanusiaan dan LSM internasional, termasuk Oxfam dan Save the Children, mendesak agar GHF dihentikan operasinya. Mereka menuduh yayasan nan berbasis di AS dan Israel itu memaksa ribuan penduduk kelaparan memasuki area militer, di mana mereka menghadapi akibat tembakan saat berupaya mengakses bantuan.

Menanggapi kritik tersebut, kepala GHF, Johnnie Moore, pada Rabu (02/07) dalam konvensi pers di Brussels bersikeras bahwa pihaknya tidak bakal menghentikan operasi penyaluran bantuan. Dia menyatakan bahwa yayasan tersebut telah menyalurkan lebih dari 55 juta porsi makanan hingga saat ini, dan terbuka untuk bekerja sama dengan PBB serta lembaga support lainnya.

Moore juga menyinggung pernyataan dari otoritas kesehatan Gaza. "Kementerian Kesehatan Gaza setiap hari mengeluarkan info korban sipil, dan nyaris selalu mengaitkannya dengan penduduk nan sedang menunggu bantuan-bantuan dari kami," ujarnya.

Pasukan Pertahanan Israel (Israel Defense Forces/IDF) dalam beberapa kesempatan menyatakan bahwa mereka melepaskan "tembakan peringatan" ke arah penduduk nan mendekati posisi militer di sekitar letak pengedaran bantuan. Namun, IDF belum merilis info resmi mengenai jumlah korban akibat tindakan tersebut.

Pada 27 Juni, surat berita Israel berpatokan kiri, Haaretz, menerbitkan laporan nan menyebut bahwa tentara Israel telah diberi lampu hijau untuk menembaki kerumunan penduduk sipil di dekat pusat pengedaran makanan guna menjauhkan mereka dari posisi militer Israel di dalam area larangan.

Dalam tulisan tersebut, seorang tentara nan tak disebutkan namanya mengaku bahwa pasukannya menggunakan menembaki penduduk tak bersenjata nan tidak menunjukkan ancaman. Haaretz juga melaporkan bahwa militer Israel tengah menyelidiki apakah tindakan tersebut melanggar norma internasional dan berpotensi dikategorikan sebagai kejahatan perang.

Menanggapi laporan itu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Yoav Gallant menepis tudingan tersebut dan menuduh Haaretz menyebarkan "kebohongan rawan nan bermaksud mencemarkan nama baik IDF, militer paling beradab di dunia," demikian bunyi sebuah pernyataan bersama.

IDF juga membantah tuduhan bahwa mereka secara sengaja menembaki penduduk sipil. Dalam pernyataan nan disiarkan media Israel, IDF menegaskan bahwa tidak ada pasukan nan diperintahkan "untuk secara sengaja menembaki penduduk sipil, termasuk mereka nan mendekati pusat-pusat pengedaran bantuan."

Namun, tiga hari setelah pernyataan tersebut, militer Israel mengumumkan langkah-langkah penyesuaian. Berdasarkan "pelajaran nan dipetik," IDF menyatakan bakal mengatur ulang akses menuju jalur dan pusat pengedaran bantuan, membangun pos-pos pemeriksaan baru, serta memasang sinyal peringatan guna "mengurangi gesekan dengan penduduk sipil dan menjaga keselamatan pasukan di lapangan."

Di sisi lain, GHF bersikeras bahwa letak pengedaran mereka kondusif dari kekerasan. Direktur GHF, Johnnie Moore, menegaskan bahwa tidak pernah terjadi satu pun kejadian kekerasan di letak mereka. "Tidak ada satu pun kejadian kekerasan di pusat pengedaran kami. Kami tidak pernah mengalami kejadian seperti itu," tegasnya.

Namun, merespons laporan Haaretz nan menuduh adanya lampu hijau untuk menggunakan kekuatan mematikan terhadap penduduk sipil, GHF menyatakan bahwa tuduhan tersebut "terlalu serius untuk diabaikan" dan menyerukan penyelidikan lebih lanjut.

"Kami hanya menerima cukup untuk tetap hidup"

Di tengah kehancuran akibat perang, penduduk Palestina nan putus asa kerap kudu melangkah berjam-jam melewati medan rawan untuk mencapai pusat-pusat pengedaran bantuan. Banyak dari letak tersebut berada di dalam area militer nan ditetapkan oleh Israel. Pusat pengedaran hanya dibuka dalam waktu singkat, dan info mengenai titik kumpul nan kondusif sering kali tidak jelas.

"Jalan ke sana sangat berbahaya. Saya berupaya keras untuk tetap di jalur utama agar bisa sampai," kata Ahmed Abu Raida kepada DW melalui sambungan telepon dari Mawasi, Gaza selatan. Dia sekarang tinggal di sebuah tenda berbareng family besarnya.

Menurut Ahmed, penduduk kudu menunggu lama untuk mengetahui kapan pusat support alias jasa kesehatan dibuka. "Selama berjam-jam kami menunggu, bunyi tembakan terdengar dari beragam arah," ujarnya.

Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

Diadaptasi oleh Prita Kusumaputri

Editor: Rahka Susanto dan Rizki Nugraha

(ita/ita)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini