ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Kejaksaan Agung (Kejagung) terus mengusut kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina, sub-holding dan kontraktor perjanjian kerja sama pada periode 2018-2023. Hari ini, Kejagung menggeledah rumah saudagar minyak Mohammad Riza Chalid.
"Yang pasti satu aja bocoran, ada kita geledah di rumahnya Muhammad Riza Chalid. Hari ini kelak Pak Kapus nan bakal menyampaikan itu," kata Direktur Penyidikan pada Jampidsus Abdul Qohar saat bertemu pers di instansi Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Selasa (25/2/2025).
Dalam kesempatan nan sama, Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar menerangkan penggeledahan saat ini tengah berlangsung. Penggeledahan dilakukan di dua tempat di wilayah Jakarta Selatan.
"Penggledahan sedang dilakukan saat ini untuk penggeledahan nan keempat di Jalan Jenderal Sudirman, Kemudian nan kedua di Jalan Jenggala Kebayoran Baru," kata Harli.
Harli mengatakan pihaknya sudah sejak tadi malam melakukan penggeledahan di tujuh tempat. Penggeledahan itu dilakukan di rumah para tersangka.
"Penggeledahan ketiga itu dilakukan tadi malam di 7 tempat berbeda ialah rumah masing-masing dari para tersangka, ada nan Bintaro, ada nan di ruangan," kata Harli.
Dari penggeledahan itu, interogator Kejagung menyita dokumen-dokumen. Kejagung juga menyita laptop hingga ponsel.
"Penggeledahan nan didapat semalem antara lain tentu interogator menemukan arsip dan peralatan elektronik berupa laptop dan handphone," ujar Harli.
7 Tersangka
Kejagung menetapkan tujuh orang sebagai tersangka dalam kasus ini. Mereka bekerja-sama untuk mendapat untung secara melawan hukum.
Direktur Penyidikan Jampidsus (Dirdik) Kejagung, Abdul Qohar menyebut ketujuh tersangka itu terdiri dari 4 orang petinggi anak perusahaan PT Pertamina, dan tiga lainnya merupakan pihak swasta.
Mereka yakni:
1. RS selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga;
2. SDS selaku Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional;
3. YF selaku Direktur Utama PT Pertamina Internasional Shipping;
4. AP, selaku selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina International;
5. MKAR selaku Beneficialy Owner PT Navigator Khatulistiwa;
6. DW, selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT. Jenggala Maritim;
7. GRJ, selaku Komisaris PT Jengga Maritim dan Direktur PT Orbit Terminal Merak;
Qohar menerangkan, perkara ini bermulai ketika pada periode 2018-2023. Kala itu pemerintah mencanangkan agar pemenuhan minyak mentah wajib berasal dari dalam negeri.
PT. Pertamina kemudian diwajibkan untuk mencari pasokan minyak bumi dari kontraktor dalam negeri sebelum merencanakan impor. Hal itu sebagaimana telah diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri ESDM Nomor 42 Tahun 2018.
Namun ternyata, tersangka RS, SDS, dan AP, diduga melakukan pengkondisian dalam rapat organisasi hilir (ROH). Hasil rapat dijadikan dasar untuk menurunkan produksi kilang sehingga hasil produksi minyak bumi dalam negeri tidak sepenuhnya terserap.
"Pada akhirnya pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang dilakukan dengan langkah impor," ungkapQohar di Kejagung, Senin (24/2/2025) malam.
Pada saat nan sama, produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS juga dengan sengaja ditolak. Alasannya, produksi minyak mentah oleh KKKS tidak memenuhi nilai ekonomis, padahal harganya tetap sesuai nilai perkiraan sendiri (HPS).
Produksi minyak mentah dari KKKS juga dinilai tidak sesuai spesifikasi. Padahal faktanya, minyak nan diproduksi tetap dapat diolah sesuai dengan spesifikasi.
"Pada saat produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS ditolak dengan dua argumen tersebut, maka menjadi dasar minyak mentah Indonesia dilakukan ekspor," jelas Qohar.
Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, maka PT Kilang Pertamina Internasional melakukan impor minyak mentah dan PT Pertamina Patra Niaga melakukan impor produk kilang. Di mana, perbedaan nilai pembelian minyak bumi impor sangat signifikan dibandingkan dari dalam negeri.
Dalam aktivitas ekspor minyak juga diduga telah terjadi kongkalikong antara para tersangka. Di mana SDS, AP, RS, dan YF selaku Penyelenggara Negara telah memgatur kesepakatan nilai dengan broker, dalam perihal ini tersangka MK, DW, dan GRJ.
Mereka sudah mengatur nilai untuk kepentingan pribadinya masing-masing dan menyebabkan kerugian negara.
"Seolah-olah telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dengan langkah pengkondisian pemenangan demut alias agen nan telah ditentukan dan menyetujui pembelian dengan nilai tinggi melalui spot nan tidak memenuhi persyaratan," jelasnya.
Kemudian RS, SDS dan AP memenangkan agen minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum. Dilanjutkan dengan DM dan GRJ nan melakukan komunikasi dengan AP untuk dapat memperoleh nilai tinggi (spot) padahal syarat belum terpenuhi.
Namun perihal itu malah disetujui oleh SDS untuk impor minyak mentah dari RS untuk impor produk kilang. RS, lanjutnya, diduga melakukan pembelian untuk RON 92, namun nyatanya nan dibeli adalah RON 90 nan diolah kembali.
Selain itu, interogator juga menemukan adanya dugaan mark up perjanjian dalam pengiriman minyak impor nan dilakukan oleh tersangka YF. Sehingga, negara perlu bayar biaya fee tersebut sebesar 13-15 persen.
"Sehingga tersangka MKAR mendapatkan untung dari transaksi tersebut," ungkap Qohar.
Berkat serangkaian perbuatan para tersangka tersebut juga menyebabkan kenaikan nilai bahan bakar minyak nan bakal dijual ke masyarakat. Sehingga, pemerintah perlu memberikan kompensasi subsidi nan lebih tinggi berasal dari APBN.
(whn/dhn)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu