Usai Perundingan Di Saudi, Pejabat Rusia-as Bakal Bertemu Lagi Di Turki

Sedang Trending 5 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta -

Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov mengumumkan pertemuan antara perwakilan Rusia dan Amerika Serikat (AS) di Istanbul, Turki. Pertemuan antara pejabat Rusia dan AS di Turki ini dilakukan usai kedua negara melakukan perundingan di Arab Saudi.

"Kami mengumumkan bahwa diplomat dan master tingkat tinggi kami bakal berjumpa dan mempertimbangkan masalah sistemik nan telah terakumulasi sebagai akibat dari aktivitas terlarangan pemerintahan (AS) sebelumnya untuk menciptakan halangan buatan bagi aktivitas Kedutaan Besar Rusia, nan tentu saja kami tanggapi dan juga menciptakan kondisi nan tidak nyaman bagi pekerjaan Kedutaan Besar Amerika di Moskow," kata Lavrov dilansir Anadolu Agency, Rabu (26/2/2025).

Lavrov berambisi pertemuan di Istanbul menghasilkan kejelasan sejauh mana para pihak dapat bergerak sigap dan efektif. Lavrov juga bicara soal penyelesaian bentrok Israel-Palestina.

Lavrov mengatakan Moskow sangat cemas bahwa tentara Israel terus mengambil tindakan nan melampaui perjanjian gencatan senjata, nan menciptakan ketegangan di lapangan.

"Kami sangat prihatin bahwa setiap hari tentara Israel mengambil langkah-langkah tambahan nan tidak diatur dalam perjanjian dengan Hamas dan Lebanon, dan yang, secara umum, menciptakan fakta-fakta di lapangan nan bertentangan dengan perjanjian dan resolusi Dewan Keamanan PBB mengenai urusan Palestina dan masalah Lebanon," katanya.

Menurut Lavrov, Rusia dan Qatar mendukung kemajuan menuju pembentukan negara Palestina, sembari memandang kesempatan permukiman kembali penduduk Palestina di wilayah tersebut.

"Masalah pembentukan Negara Palestina adalah masalah utama," tegasnya.

Menurutnya, perbincangan nan sangat produktif sedang berjalan antara Rusia dan Liga Arab. Dia mengatakan perlu ada obrolan harian tentang semua masalah nan memerlukan koordinasi, termasuk masa depan Palestina.

Pihak Rusia juga meletakkan angan besar pada pertemuan puncak Liga Arab mendatang di Kairo, di mana masa depan Jalur Gaza bakal dibahas dalam konteks beragam proposal, termasuk pendapat untuk mengubahnya menjadi area wisata.

"Negara-negara Arab berupaya melindungi kewenangan penduduk Palestina untuk tinggal di tanah mereka. Hal ini belum terwujud. Kami bakal memanfaatkan pengaruh kami di panggung internasional, termasuk di dalam PBB, untuk memastikan proses ini melangkah maju secara konstruktif," katanya.

Pertemuan campuran Liga Arab dan Organisasi Kerja Sama Islam pada tanggal 14 Maret di Istanbul bakal membahas masalah-masalah ini dalam skala nan lebih luas, membahas hubungan Israel-Palestina, Israel-Lebanon, dan Israel-Suriah.

"Sama seperti pasukan Israel nan memilih untuk tetap berada di Lebanon selatan, mereka sekarang telah bergerak lebih jauh ke selatan di Republik Arab Suriah. Hal ini telah menciptakan realitas baru nan mengharuskan pengembangan langkah-langkah konstruktif nan menyeimbangkan kepentingan keamanan dan pembangunan bagi semua negara di area tersebut, tanpa kecuali," katanya.

Rusia berkomitmen untuk memastikan perkembangan di Suriah tidak mengarah pada pertikaian sipil. Dia juga mengecam sikap Eropa nan mengaitkan pencabutan hukuman dari Suriah dengan syarat 'mengusir Rusia' dari negara tersebut.

Beralih ke bentrok Rusia-Ukraina, Lavrov menyatakan bahwa Rusia menunggu para pemimpin Eropa untuk berakhir mendusta tentang Moskow nan menghalangi negosiasi. Dia beranggapan Eropa terus menjalankan kebijakan nan sangat ketinggalan era dan kandas terhadap Ukraina, nan secara aktif menghasut Kyiv untuk memperpanjang konflik.

"Setiap kali keseimbangan kekuatan politik di Ukraina mulai bergeser, seperti nan terlihat selama pemungutan bunyi Perserikatan Bangsa-Bangsa baru-baru ini, Eropa segera mencoba untuk melawan tren ini-mengumumkan paket support militer baru nan besar untuk Kyiv dan mendorongnya untuk terus berperang," katanya.

"Rezim Ukraina telah berupaya menghapus identitas Rusia melalui undang-undang nan memengaruhi pendidikan, media, dan budaya. Apa nan tersisa dari Ukraina kudu dibebaskan dari undang-undang nan diskriminatif ini," tambahnya.

Lavrov mengesampingkan kemungkinan pengerahan pasukan Eropa di Ukraina, dengan menyatakan bahwa Presiden Prancis Emmanuel Macron salah menafsirkan pernyataan Presiden AS Donald Trump.

"Pendekatan nan didorong terutama oleh Prancis, dan juga Inggris, ditujukan untuk meningkatkan bentrok daripada meredakannya. Trik seperti menempatkan pasukan penjaga perdamaian di Ukraina tidak bakal berhasil. Kunci untuk menyelesaikan bentrok terletak pada penanganan akar penyebabnya," katanya.

(rfs/haf)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu