ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Presiden Amerika Serikat secara terang-terangan melecehkan sekutu lama di Eropa dan Ukraina, ketika pada saat nan sama melunak kepada Rusia. Skenario nan terasa mustahil di masa lampau itu sekarang menjadi tontonan siaran langsung di bawah pemerintahan Donald Trump di Gedung Putih.
Lantas, mau dibawa ke mana arah kebijakan luar negeri AS di masa depan?
Amerika Serikat sejatinya telah berjanji melindungi Ukraina, sejak Kyiv mengembalikan senjata nuklir kepada Rusia pada Desember tiga puluh tahun silam, dengan janji mendapat agunan keamanan dari Moskow dan Washington.
Pun sejak invasi Rusia tahun 2021, AS menjadi pemasok terbesar perlengkapan perang bagi Ukraina. Namun usai percekcokan terbuka antara Trump dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenksyy di Gedung Putih, Jumat (28/2) silam, AS menghentikan semua pengiriman senjata ke sekutu dekatnya itu.
Sikap Trump mengingkari perjanjian lama dan solidaritas transatlantik sebabnya diyakini dapat menggeser keseimbangan geopolitik global. Bagi Eropa dan Ukraina, ketidakpastian ini menuntut kesiapan untuk menghadapi kemungkinan bahwa Washington tak lagi bisa diandalkan sebagai sekutu utama.
Enam pekan masa kedudukan Trump kian jelas mengindikaskan arah kebijakan diplomasi untuk empat tahun ke depan. Di bawah pemerintahannya, AS bersedia mengorbankan Ukraina demi mendekat kepada Rusia. Alih-alih melibatkan sekutu lama, Trump justru mengambil sikap permusuhan terhadap Eropa.
"Uni Eropa diciptakan untuk mengacaukan AS," kata Trump pada Rabu (26/2) lalu. Pada hari Jumat, dia dan wakilnya JD Vance mendamprat Volodymyr Zelensky dalam siaran langsung di televisi. Padahal, presiden Ukraina sebenarnya datang untuk menyegel perjanjian bahan mentah seperti nan diminta AS. Ketika Zelensky menuntut agunan keamanan nan lebih solid, dia dianggap "tidak berterimakasih" dan "menghina rakyat AS" oleh Trump dan Vance.
Trump akhiri aliansi Barat?
Sejarawan Jerman Norbert Frei, nan mengepalai Pusat Jena untuk Sejarah Abad ke-20 di Universitas Jena, memandang ini sebagai akhir dari tatanan bumi setelah Perang Dunia Kedua dan titik kembali sejarah dalam skala runtuhnya Uni Soviet.
"Tujuannya jelas, ialah kekuasaan tiga serangkai dunia dengan Donald Trump, Xi Jinping, dan Vladimir Putin," kata Frei di stasiun radio publik Deutschlandfunk. "Yang tidak mau diakui Trump sekarang adalah bahwa AS sebagai adikuasa sedang merosot. Dan Trump sedang menyingkirkan satu-satunya sekutu sejati, ialah Eropa. Dan Eropa ini sekarang betul-betul berdiri sendiri."
Sebab itu pula, Eropa melangsungkan konsultasi diplomatik untuk menemukan jawaban bersama, nan pertama di London, kemudian pada pertemuan puncak unik Uni Eropa di Brussels. "Saya berambisi mereka menyadari bahwa kita tengah menyaksikan perubahan arah nan jelas dalam politik dunia," kata Mikhail Alexseev, intelektual politik di Universitas Negeri San Diego di California, menjelang obrolan tersebut.
"Insiden di Ruang Oval bukan sekadar pertikaian antara dua pemimpin. Ini menandakan perubahan besar orientasi AS dari Eropa. Kita tidak bisa lagi menganggap remeh agunan keamanan AS, tidak hanya untuk Ukraina tetapi mungkin juga untuk NATO," kata Alexseev kepada DW.
"Keretakan besar tidak dapat dikenali"
Setahun nan lalu, Trump meminta Eropa untuk menginvestasikan hingga lima persen anggaran shopping nasional untuk pertahanan di masa depan.
Laura von Daniels, kepala golongan penelitian Amerika di Institut Jerman untuk Urusan Internasional dan Keamanan, SWP, di Berlin, juga menunjukkan ketidakpastian besar di bagian keamanan. Namun begitu, dia juga menepis dugaan keretakan besar dalam hubungan transatlantik.
"Saya percaya ini bakal menjadi situasi nan sulit, dan Trump siap merugikan kepentingan Uni Eropa. Baik dalam perihal kebijakan keamanan maupun kebijakan ekonomi, misalnya dengan tarif hukuman. Namun, dia juga tidak berkepentingan untuk menceraikan Eropa dalam semalam."
Von Daniels menunjuk pada rencana kebijakan ekonomi Trump, dia mengincar Eropa sebagai pasar untuk menjual gas alam cair, LNG. Oleh lantaran itu, tekanan ekonomi kemungkinan bakal terus meningkat. "Tarif baja dan aluminium bakal diberlakukan pada 12 Maret," kata von Daniels. Pada musim semi dan panas, Eropa kudu menghadapi tarif lebih besar - misalnya pada mobil.
Dengan langkah ini, Trump mau menyeimbangkan neraca perdagangan antara UE dan AS. Menurut info AS, pada tahun 2024 AS telah membeli peralatan dan jasa dari Eropa senilai nyaris satu triliun euro lebih banyak daripada sebaliknya.
Secara keseluruhan, hubungan transatlantik cukup berfaedah bagi Trump, kata master SWP: "Pertanyaannya tentu saja dibenarkan apakah dia bakal terus mengidentifikasikan diri sebagai aliansi Barat."
Gabriel: Trump Ingin Melemahkan Eropa
Mantan Menteri Luar Negeri Jerman, Sigmar Gabriel, menilai pemerintahan AS di bawah Donald Trump tidak lagi menganggap Eropa sebagai mitra strategis. Dalam wawancara dengan harian Augsburger Allgemeine, Gabriel menuduh Trump tidak memahami alias menghargai Eropa.
"Pandangan dunianya bertolak belakang dengan visi kerja sama internasional nan dianut Eropa. Saya percaya dia mau melemahkan alias apalagi menghancurkan Eropa, lantaran kita sebenarnya cukup kuat jika berasosiasi dan itu mengganggunya," ujar Gabriel.
"Yalta 2.0": Trump dan Putin Atur Ulang Dunia?
Gabriel juga menyoroti rencana pembicaraan antara Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin mengenai kemungkinan mengakhiri perang di Ukraina. Dia membandingkan situasi ini dengan Konferensi Yalta 1945, ketika AS, Uni Soviet, dan Inggris membagi wilayah pengaruh di Eropa usai Perang Dunia II.
"Trump membayangkan semacam 'Yalta 2.0', di mana para 'pemimpin kuat' bumi membagi wilayah kekuasaan mereka, sementara negara-negara mini kudu mencari langkah untuk memperkuat hidup," katanya.
Pengamat politik dari Yayasan Sains dan Politik, SWP, Laura von Daniels, juga menilai bahwa Trump memandang Ukraina sebagai penghalang utama dalam upayanya menjalin kesepakatan langsung dengan Putin. Insiden di Gedung Oval pada Jumat lalu, kata von Daniels, mempunyai karakter nan mirip dengan kepemimpinan otoriter.
Tanpa AS, Rusia Bisa Menang?
Sementara itu, Institute for the Study of War di Washington memperingatkan bahwa penghentian support AS untuk Ukraina dapat meningkatkan kemungkinan kemenangan Rusia. Jika ini terjadi, Putin bisa merasa semakin percaya diri untuk memperluas pengaruhnya ke negara-negara jejak Uni Soviet lainnya, termasuk personil Uni Eropa dan NATO seperti Estonia, Latvia, dan Lituania.
Di sisi lain, jika AS mundur dari bentrok ini, dampaknya bisa lebih luas: Washington bakal kehilangan pengaruh global, sementara Rusia semakin mengukuhkan dominasinya di kawasan.
Artikel diadaptasi dari DW Bahasa Jerman
(ita/ita)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu