Koalisi Permanen Atau Perbaikan Sistem Pemilu?

Sedang Trending 3 minggu yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta -

Belakangan ini, muncul wacana tentang pembentukan koalisi permanen untuk partai-partai nan tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus. Sebelumnya, wacana ini pernah disuarakan pasca Pemilu 2024 oleh Ketua Dewan Pembina PSI Jeffrie Geovanie. Jeffrie Geovanie, melempar wacana pembentukan koalisi permanen selayaknya Barisan Nasional di Malaysia. Presiden Prabowo Subianto kembali menyuarakan wacana ini pada silaturahmi ketua KIM Plus, 14 Februari lalu.

Pembentukan koalisi permanen perlu memperhatikan kompatibilitas pada kondisi sosial masyarakat dan sistem politik nan berlaku. Sebagai contoh, Malaysia telah sejak lama memperlakukan koalisi permanen. Koalisi permanen diperlukan sebagai "pemersatu di antara sekat-sekat keberagaman".

Koalisi di Malaysia menyatukan partai-partai politik nan kebanyakan merepresentasikan satu etnis tunggal. Sebagai contoh, dalam koalisi Barisan Nasional, etnis Melayu direpresentasikan oleh Partai UMNO, etnis Tionghoa oleh Partai MCA, dan etnis India oleh Partai MIC. Tidak hanya Barisan Nasional, koalisi Pakatan Harapan dan Perikatan Nasional juga komponen partai koalisinya terbagi atas representasi etnis.

Koalisi permanen juga tidak kudu dibuat atas tujuan persatuan beragam etnis nan berbeda. Contohnya adalah Partai CDU dan Partai CSU di Jerman dan Liberal dan National di Australia. Partai CDU dan Partai CSU sama-sama merupakan partai kristen, bakal tetapi Partai CSU hanya bertanding di wilayah Bavaria, dimana kepercayaan kebanyakan Bavaria adalah Katolik nan merupakan pedoman konstituen Partai CSU. Partai Liberal dan Partai National di Australia terbagi atas pedoman konstituen nan berbeda walaupun sama-sama berbasis sayap tengah-kanan alias sayap kanan. Partai Liberal mempunyai pedoman konstituen urban, sedangkan Partai National mempunyai pedoman konstituen rural.

Internal komponen koalisi permanen biasanya diakomodasi dalam pembagian dapil dalam pemilu. Pada umumnya partai-partai dalam koalisi permanen tidak berkompetisi satu sama lain. Di Jerman, CDU-CSU tidak berkompetisi satu sama lain lantaran CSU hanya berkompetisi di Bavaria. Sedangkan di Malaysia, pembagian dapil dapat diakomodasi lantaran penggunaan sistem distrik (first-past the post system).

Tiap-tiap distrik di Malaysia juga terbagi atas komposisi etnis nan berbeda, sehingga memungkinkan pembagian jatah dapil nan setara bagi seluruh komponen koalisi. Berbeda dengan Jerman dan Malaysia, di Australia, Partai Liberal dan Partai National berkompetisi satu sama lain lantaran menggunakan sistem pemilu preferential voting.

Menjadi Dasar Kajian

Studi kasus koalisi permanen di luar negeri menjadi dasar kajian untuk pembentukan koalisi permanen di Indonesia. Seperti apa corak koalisi permanen? Apakah bakal ada pakta kerja sama dalam pemilihan legislatif? Bagaimana membagi batas waktu berkoalisi? Apakah koalisi di tingkat nasional juga bersambung pada tingkat daerah? Pertanyaan-pertanyaan ini kudu bisa terjawab untuk membentuk sistem dan sistem koalisi nan ajek.

Indonesia saat ini menganut sistem presidensial dan multipartai. Telah banyak kajian nan membahas pro-kontra mengenai hubungan antara presidensialisme dan multipartai, seperti Juan Linz dan Djayadi Hanan. Pembahasan koalisi permanen pun tidak terlepas dari praktik presidensialisme dan multipartai. Keberadaan sistem multipartai merupakan ekses dari sistem pemilu proporsional nan diterapkan di Indonesia. Menurut Maurice Duverger, sistem distrik bakal menghasilkan dua partai, sedangkan sistem proporsional bakal menghasilkan multipartai.

Jika merujuk pada model koalisi permanen di Malaysia, pembagian dapil sebelum pemilu dapat menjadi solusi penghematan biaya politik nan mahal. Penggunaan sistem proporsional terbuka di Indonesia kerap dikritik lantaran memungkinkan "kanibalisme politik". Praktik kanibalisme politik adalah ekses dari kejuaraan internal partai pada satu dapil dalam sistem proporsional.

Namun, saya belum memandang pembentukan koalisi permanen diseriusi untuk kerja sama elektoral dalam kejuaraan legislatif. Wacana ini justru keluar dari Presiden Prabowo. Kepentingan Prabowo adalah kembali terpilih pada 2029 sehingga KIM Plus perlu tetap solid. Pembentukan koalisi permanen bakal menguntungkan Prabowo dalam pemilihan presiden dan Gerindra nan bisa mendapat coattail effect. Namun, gimana untung-rugi koalisi permanen bagi partai-partai lain nan terdapat dalam KIM Plus?

Jika pada 2029 kepuasan terhadap Presiden Prabowo tinggi, bukan tidak mungkin seluruh komponen KIM Plus bakal solid dengan sendirinya untuk mencalonkan Prabowo kembali tanpa perlu adanya koalisi permanen. Lebih menguntungkan bagi partai politik untuk dekat dengan kekuasaan. Sejak siklus presidensialisme bercampur multipartai melangkah pada 2004, partai nan kalah pun kebanyakan merapat kepada kekuasaan.

Di satu sisi, partai politik juga kudu leluasa untuk mencalonkan kadernya sendiri, terlebih ketika sudah tidak ada lagi Presidensial dan Parliamentary Threshold. PKB melakukan ini dengan mencalonkan Anies-Muhaimin pada Pemilu 2024. Walaupun kudu berpisah dengan kekuasaan, PKB mendapat lonjakan bangku akibat coattail effect dari pemilih Anies-Muhaimin. Dengan begitu, pemilihan presiden juga menjadi arena mencari coattail effect untuk pemilihan legislatif.

Merugikan Partai

Jika koalisi permanen diperuntukkan hanya untuk menjaga kekuasaan presiden petahana, maka wacana ini bakal merugikan partai nan kadernya tidak menjadi presiden alias wakil presiden petahana. Bisa-bisa ada komponen partai internal KIM Plus nan tidak mendapat kenaikan kursi. Penghapusan Parliamentary Threshold membikin partai nan sekarang berada di parlemen kudu berstrategi untuk menambah kursi.

Jika dibentuk sebuah koalisi permanen oleh KIM Plus, semestinya juga dibentuk koalisi oleh partai oposisi alias partai-partai nan tidak menjadi bagian dari KIM Plus. Saya tetap meyakini pentingnya sebuah parlemen nan terdapat dua polar kekuatan. Polar nan berada di luar kekuasaan kudu melakukan check and balances kepada polar nan berada di dalam kekuasaan.

Saya menyarankan sebaiknya elite politik lebih konsentrasi kepada perbaikan sistem pemilu dan politik secara holistik sebelum membicarakan mengenai koalisi permanen. Koalisi permanen semestinya tidak hanya diperuntukkan untuk pemilihan presiden, tetapi juga untuk berbagi tugas dalam pemilihan legislatif. Maka dari itu, pembahasan mengenai sistem pemilu perlu didahulukan sebelum membahas wacana koalisi permanen.

Sudah sepatutnya kita kembali membuka obrolan soal wacana sistem pemilu distrik alias sistem campuran (gabungan distrik dan proporsional tertutup). Gagasan ini sebelumnya pernah diajukan oleh Tim Tujuh ketua Prof. Ryaas Rasyid pada awal Reformasi. Dengan menggunakan sistem distrik alias campuran, maka penerapan koalisi permanen dalam pemilihan legislatif lebih memungkinkan.

Muhammad Ramadhan analis politik di Elektawave Tekno Strategi

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu