ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Pemerintah mentargetkan segera merampungkan Rancangan Undang Undang Kitab Hukum Acara Pidana. Langkah ini dikebut guna mendukung penerapan KUHP baru nan bakal mulai bertindak tahun depan. Berbagai pandangan diketengahkan oleh beragam pihak nan berkepentingan terhadap KUHAP mulai dari polisi, hingga advokat mengenai formulasi nan ideal. Namun ada satu nan sangat jelas di pelupuk tapi tidak terlihat mata ialah adanya obesitas dalam norma kita.
Sebaik apa pun KUHAP itu sering terkendala kemudian dalam praktik oleh lantaran lahirnya beragam izin kebijakan seperti Perkap, Perja dan Perma apalagi SEMA nan keberadaannya menegasikan izin di atasnya. Paling sederhana, dalam perihal membikin laporan kepolisian, sering korban dari awal mengalami proses rumit ketika membawa masalahnya ke kepolisian beragam situasi nan membebani itu akhirnya membikin publik tetap kesulitan mendapatkan akses hukum. padahal di dalam KUHAP Baru misalnya diatur kewenangan masyarakat adalah membikin laporan polisi atas terjadinya suatu tindak pidana.
Sisi lain nan paling sering menjadi halangan adalah sistem penggabungan tuntutan tukar kerugian terhadap terdakwa untuk kepentingan korban. Aturan mengenai perihal ini sebaiknya perlu dipertegas aturannya sebagai salah satu tanggungjawab penuntut umum dalam proses penuntutan. Apalagi di beberapa pasal kejahatan terhadap kekayaan dan benda, penuntut umum tidak hanya mendakwa perbuatan pelaku kejahatan tetapi juga memperjuangkan kepentingan korban untuk memperoleh kompensasi atas perbuatan terdakwa. Selama ini dalam praktik, korban tetap kudu menggunakan jalur tersendiri ialah upaya perdata untuk memperoleh haknya atas penyelesaian atas kerugiannya nan timbul dari perbuatan terdakwa. Praktik ini membuktikan bahwa proses penegakan norma belum melangkah linear di atas kepentingan ketertiban umum dan kepentingan korban. Padahal masyarakat selaku korban berambisi melalui proses norma haknya atas kerugian terhadap kekayaan barang dapat dipulihkan oleh terdakwa melalui proses hukum. segala pengorbanan korban untuk mengikuti proses norma menjadi tawar lantaran tujuan maksimal nan diharapkannya ialah tukar kerugian atas kerugiannya tidak tercapai. Proses pidana hanya menjawab tujuan minimal ialah pelaku mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum. rumor ini pun coba dijawab dengan lahirnya beragam izin kebijakan seperti Perkap, Perja dan Perma untuk menyelesaikan penanganan perkara dengan pendekatan restorative justice tetapi penerapannya belum sesuai dengan nan diharapkan, karena modelnya tetap sangat dititikberatkan kepada itikad pelaku, lembaga norma belum berkedudukan optimal untuk memulihkan kerugian korban.
Secara asasnya sebenarnya sudah jelas norma nan lebih tinggi mengesampingkan norma nan lebih rendah "lex superior derogat legi inferiori". Tapi itu seolah hanya bertindak di tatanan teori sedangkan dalam praktik justru norma nan disebut lebih rendah itu malah menentukan proses penegakan hukum. Akhirnya proses norma terdesain sedemikian rupa menjadi proses nan sejak awal sudah melangkah dengan tidak adil. Lantas gimana mengharapkan lahirnya suatu penanganan kasus norma nan setara dari proses nan saling tumpang tindih menyebabkan situasi ketidakadilan.
Terjadinya beragam praktik izin kebijakan dilandasi oleh satu argumentasi adanya kekosongan norma nan seolah mendorong lembaga ikut melahirkan suatu izin kebijakan. Sebenarnya nan paling ideal untuk mengatasi keadaan kekosongan norma ini adalah dengan mengusulkan fatwa norma ke pengadilan bukan dengan melahirkan izin baru. Sebab keadaan kekosongan norma terjadi lantaran adanya suatu anomali alias keadaan baru nan terjadi di luar keadaan lazimnya sehingga agak rancu jika keadaan anomali di satu kasus menjadi dasar lahir izin nan bertindak untuk umum.
Diskresi dimaknai sebagai kewenangan untuk menghasilkan peraturan baru. Padahal belum tentu demikian, diskresi dan izin kebijakan tidak bisa dijadikan satu rangkaian tindakan pemerintah. Secara nyata diskresi adalah keadaan lantaran kekosongan norma namun memaksa maka nan dilakukan adalah tindakan di luar kebiasaan terhadap satu kasus nan terjadi secara dil uar kelaziman. Sedangkan izin kebijakan tidak bisa dilakukan berasas kasus di luar kelaziman.
Terjadinya izin kebijakan karenanya bisa terjadi lantaran terlalu legal formil dalam melakukan pendekatan penyelesaian keadaan tidak lazim juga lantaran ego sektoral lembaga penegakan norma nan rentan dilatarbelakangi adanya kepentingan non norma dalam penyelesaian kasus kasus hukum. sehingga sudah saatnya demi menjamin lahirnya produk norma nan tepat dan tidak bertentangan dengan izin nan berada di atasnya, ke depan segala izin kebijakan nan hendak dilahirkan lembaga penegak norma seperti polisi, jaksa dan pengadilan kudu dilahirkan berasas pengesahan dari Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga penegak norma nan bekerja menjaga tertib hukum.
Obesitas norma adalah suatu keadaan ketidakseimbangan dimana sistem sosial kemasyarakatan dipenuhi oleh beragam izin nan pada akhirnya menciptakan sistem norma kandas menciptakan kepastian norma dan keadilan itu sendiri dalam konteks norma pidana ialah kepada korban dan ketertiban umum. Obesitas norma bukan hyper regulation, obesitas adalah akibat. Obesitas memerlukan penataan dan penegasan alias pendisiplinan tertib asas norma untuk menghasilkan postur sistem norma aktivitas pidana nan ideal. Sedangkan hyper condong mengindikasikan sebagai karena terjadinya perlambatan.
Keadaan terlalu banyaknya izin menyebabkan terjadinya kegemukan patokan dalam sistem norma pidana nan justru membikin kegunaan dan tujuan penegakan norma tidak berkedudukan optimal dalam memberikan kepastian hukum, perlindungan masyarakat termasuk korban dan pemulihan rasa keadilan nan terganggu dalam menyelesaikan peristiwa melanggar norma lantaran perangkat alias sistemnya sudah berpostur terlalu bongsor untuk dapat berkedudukan secara proporsional.
Di tengah deadline penyusunan dan pengesahan RUU KUHAP diharapkan stake holder baik dari pelaksana dan legislatif memberi porsi perhatian terhadap adanya situasi kegemukan nan membikin sistem peradilan pidana menjadi kurang responsive dan rawan terhadap penyalahgunaan kepentingan dan kewenangan oleh lantaran ego sektoral lintas lembaga hukum. penyusunan tidak disibukkan dengan perlu tidaknya suatu intitusi kewenangan diperkuat, namun kudu secara holistik memandang sistem penegakan norma pidana sebagai satu kesatuan nan tidak terpisahkan demi terciptanya Hukum Acara Pidana nan akuntabel, berkepastian norma dan berbasis Hak Asasi Manusia.
Model penyusunan tidak terlalu sibuk dengan memasukkan beragam patokan baru nan justru tidak bakal berfaedah lantaran sedari awal tim perumus dan pengkaji KUHAP Baru kandas menginventarisir beragam izin kebijakan nan justru menjadi pedoman dalam penerapan norma secara de facto. Jika keadaannya demikian KUHAP Baru tetap bakal tidak dapat menjadi pedoman baru dalam proses penegakan norma lantaran terkendala beragam peraturan kebijakan nan tetap eksis. KUHAP Baru nantinya kudu mengamputasi segala peraturan kebijakan lembaga penegak norma nan substansinya bertentangan dengan ketentuan dalam KUHAP Baru. Skenario kedua, oleh lantaran keterbatasan waktu untuk menginventarisir beragam peraturan kebijakan nan dilahirkan lembaga penegak norma selama 40 tahun terakhir sejak berlakunya KUHAP Tahun 1981, KUHAP Baru sebaiknya menegaskan di dalam ketentuannya untuk menyatakan segala izin kebijakan nan terbit berasas KUHAP Tahun 1981 kudu segera dicabut. Mungkinkah KUHAP baru bakal memprediksi situasi obesitas ini dan sukses menyelesaikannya, biarlah waktu nan bakal menjawabnya.
Ruben Sandi Yoga Utama Panggabean, Advokat di Medan.
(imk/imk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini