ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Keyakinan konsumen menjadi fondasi krusial dalam menjaga ritme pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ketika asa masyarakat terhadap kondisi ekonomi melemah, aktivitas konsumsi-yang selama ini menyumbang lebih dari 54 persen Produk Domestik Bruto (PDB)-akan ikut melambat.
Sebaliknya, jika optimisme tetap terjaga, maka daya beli dan roda ekonomi bakal terus bergerak apalagi di tengah tekanan global.
Bank Indonesia pada Juni 2025 mencatat Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) sebesar 121,6 , turun tipis dari posisi Mei 2025 nan berada di nomor 122,4. Penurunan terjadi terutama pada indeks ekspektasi penghasilan dan pembelian peralatan tahan lama.
Meskipun tetap berada di area optimis (di atas 100), tren penurunan selama dua bulan terakhir menjadi sinyal bahwa persepsi konsumen terhadap kondisi ekonomi mulai tergerus. Kondisi ini tidak terjadi dalam ruang hampa.
Perekonomian dunia tengah diliputi ketidakpastian. Laporan IMF World Economic Outlook jenis April 2025 memperkirakan pertumbuhan ekonomi bumi hanya mencapai 3,0 persen. Perlambatan ekonomi Tiongkok nan hanya tumbuh 4,5 persen, disertai suku kembang tinggi di Amerika Serikat (Fed rate 5,25 persen), mempersempit ruang mobilitas ekspor dan investasi negara-negara berkembang.
Dampak tambahan datang dari kebijakan proteksionis Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Tarif impor baru rata-rata sebesar 32 persen terhadap produk dari negara berkembang, termasuk Indonesia, menghantam sektor padat karya seperti tekstil, dasar kaki, dan furnitur.
Penurunan permintaan dari pasar dunia menakut-nakuti kelangsungan industri dan berpotensi menggerus lapangan kerja serta menekan daya beli jutaan rumah tangga. Di dalam negeri, tekanan hidup masyarakat juga bertambah berat.
Harga minyak mentah Brent mendekati USD 95 per barel, nilai gandum naik 12 persen, sementara nilai beras medium domestik telah menembus Rp14. 000 per kilogram. Inflasi bahan pangan menyulitkan golongan rentan menjaga pengeluaran konsumsi. Namun, Indonesia mempunyai modal besar.
Dengan populasi lebih dari 280 juta jiwa dan bingkisan demografi hingga 2035, potensi konsumsi domestik tetap kuat. Selain itu, pertumbuhan ekonomi digital menjadi titik terang. Berdasarkan laporan Google, Temasek, dan Bain & Company (2024), nilai ekonomi digital Indonesia diperkirakan menembus USD 360 miliar pada 2030-tertinggi di Asia Tenggara.
Tahun 2025 ini saja, Gross Merchandise Value (GMV) e-commerce diproyeksikan mencapai USD 109 miliar. Sementara itu, transisi menuju ekonomi hijau juga membuka ruang baru. Dengan sasaran emisi nol bersih pada 2060, sektor daya terbarukan, pengelolaan sampah, dan industri sirkular bisa menyumbang hingga USD 150 miliar per tahun menurut McKinsey. Transformasi ini menjadi kesempatan baru bagi pembuatan lapangan kerja dan diversifikasi pertumbuhan.
Pemerintah pun telah menyiapkan beragam langkah taktis untuk menjaga daya beli masyarakat. Bantuan PKH, BPNT dan BLT Dana Desa diperluas untuk menekan beban biaya hidup. Belanja prasarana dalam APBN 2025 dialokasikan sebesar Rp435 triliun, naik 12 persen dibanding tahun sebelumnya, dengan orientasi menciptakan lapangan kerja dan pengedaran ekonomi.
Kebijakan Bantuan Subsidi Upah (BSU) juga kembali digulirkan, menyasar lebih dari 7 juta pekerja berpenghasilan di bawah Rp5 juta per bulan nan terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan. Tujuannya adalah menjaga daya beli kelas pekerja umum dan informal nan terdampak tekanan dunia dan inflasi domestik. BSU terbukti menjadi alas krusial dalam menjaga sirkulasi konsumsi harian.
Meski begitu, masyarakat tetap menantikan kebijakan nan lebih responsif dan tepat sasaran. Pertama, stabilisasi nilai pangan dan daya perlu menjadi prioritas. Selain menjaga persediaan strategis, perlu percepatan produksi domestik serta efisiensi distribusi, termasuk memperkuat Badan Pangan Nasional agar berfaedah sebagai pengatur pasar nan aktif. Kedua, akses terhadap jasa dasar seperti kesehatan dan pendidikan kudu makin diperluas.
Ketimpangan akses dan biaya nan tinggi memunculkan keresahan jangka panjang. Layanan publik nan terjangkau dan berbobot bakal memperkuat rasa kondusif dan mendorong konsumsi.
Ketiga, pelaku UMKM dan sektor informal memerlukan akses permodalan nan adil. Program angsuran ultra mikro, pendampingan usaha, dan training digitalisasi sangat diperlukan.
UMKM menyumbang 61 persen PDB dan menyerap 97 persen tenaga kerja, namun akses mereka terhadap pembiayaan umum tetap terbatas. Keempat, kebijakan fiskal perlu dibuat lebih taktis dan progresif. Pemerintah dapat mengevaluasi kembali pemisah bawah pajak penghasilan bagi pekerja berpendapatan rendah, memperluas program insentif konsumsi seperti potongan nilai produk lokal alias voucher belanja, serta mendorong pemerintah wilayah untuk menggerakkan shopping sosial secara tepat waktu.
Kelima, perlindungan sosial kudu berbasis info dan akurat. Pembaruan info penerima support kudu menjadi prioritas nasional agar program support tidak hanya besar secara anggaran, tetapi juga presisi dalam pelaksanaan.
Akurasi bakal meningkatkan legitimasi dan efektivitas kebijakan. Dunia upaya pun memegang peran penting. Pelaku upaya perlu menjaga kualitas dan keterjangkauan produk, memperluas pengedaran digital, serta mengomunikasikan kebijakan nilai dan promosi secara transparan.
Survei McKinsey (2025) menunjukkan 71 persen konsumen Asia Tenggara mengandalkan ulasan daring sebelum membeli-reputasi dan kepercayaan adalah modal utama. Lebih jauh, bumi upaya perlu aktif dalam program training tenaga kerja, kerjasama riset dengan pemerintah, dan mengakselerasi penerapan prinsip ekonomi hijau. Dunia upaya bukan sekadar produsen barang, melainkan juga pembentuk ekosistem kepercayaan publik.
Indonesia mempunyai kekuatan sosial berupa gotong royong, solidaritas, dan ketahanan komunitas. Nilai-nilai ini kudu diterjemahkan dalam kerjasama nyata lintas sektor. Narasi transformasi hijau, hilirisasi industri, dan ekonomi digital bukan sekadar proyek elite, melainkan jalan berbareng menuju ekonomi nan setara dan tangguh.
Pada akhirnya, menjaga kepercayaan konsumen bukan hanya tentang menjaga arus transaksi hari ini, tetapi juga merawat kepercayaan jangka panjang. Ketika masyarakat merasa pendapatan aman, nilai terkendali, dan masa depan terarah, mereka terdorong untuk belanja, menabung, dan berinvestasi. Konsumsi nan terjaga bakal menopang pertumbuhan ekonomi dan mendukung transformasi struktural. Sebaliknya, jika kepercayaan retak, pemulihannya bakal mahal dan menyantap waktu panjang.
Menjaga fondasi kepercayaan konsumen sebagai degub nadi ekonomi Indonesia. Dengan kebijakan taktis nan tepat sasaran, didukung bumi upaya nan bertanggung jawab dan rakyat nan dilibatkan, Indonesia tidak hanya bertahan-tetapi juga tumbuh menjadi bangsa nan tangguh, inklusif, dan berkekuatan saing di panggung global.
Edi Setiawan. Dosen FEB Universitas Muhammadiyah Prof DR HAMKA.
(rdp/rdp)