ARTICLE AD BOX
loading...
China dituduh rencanakan serangan terhadap Wakil Presiden Taiwan Hsiao Bi-khim (tengah) saat berjamu ke Praha, Republik Ceko. Foto/Anadolu
JAKARTA - Intimidasi China terhadap Taiwan telah memasuki fase baru nan mengkhawatirkan: lebih berani, lebih kompleks, dan lepas dari norma diplomatik internasional. Selama bertahun-tahun, Taiwan telah menghadapi tekanan ekonomi, ancaman militer, isolasi diplomatik, intervensi politik, spionase, dan disinformasi.
“Namun, sekarang Beijing mulai secara langsung menyasar para pemimpin terpilih Taiwan di luar negeri—sebuah eskalasi nan sangat mencemaskan dalam kampanye permusuhan mereka,” tulis Chen Kuan-ting, legislator Partai Progresif Demokratik (Democratic Progressive Party) dan personil Komite Urusan Luar Negeri dan Pertahanan Nasional Taiwan dalam editorial Taipei Times, Minggu (6/7/2025).
Badan intelijen militer Republik Ceko baru-baru ini mengungkap rencana nan terdengar seperti cerita fiksi, namun sangat nyata. Para diplomat dan pemasok intelijen sipil China di Praha diketahui merencanakan untuk menabrakkan kendaraan ke iring-iringan mobil mantan Wakil Presiden terpilih Taiwan, Hsiao Bi-khim, dan melakukan penyerangan bentuk saat kunjungannya ke Ceko pada Maret tahun lalu.
Baca Juga: China Kerahkan 2 Kapal Induk dan Hampir 70 Kapal Perang untuk Intimidasi Taiwan
Pejabat Taiwan secara tepat menyebut rencana ini sebagai corak “represi lintas negara".
“Tapi semestinya kita menyebutnya seperti apa adanya: upaya nan membahayakan nyawa seorang pemimpin nan dipilih secara demokratis,” tulis peneliti di Taiwan-Asia Exchange Foundation, Sana Hashmi, nan menulis editorial berbareng Chen.
Meski otoritas Ceko sukses menggagalkan rencana tersebut, pesannya jelas—Beijing bersedia melanggar pemisah apa pun demi menakut-nakuti dan membungkam kepemimpinan Taiwan. Ini tidak boleh menjadi perihal nan dianggap wajar.
"Dalam bumi nan mengeklaim menjunjung tatanan internasional berbasis aturan, rencana tersebut tidak lain adalah serangan politik nan terencana, nan tidak boleh diabaikan alias dinormalisasi atas nama kebijakan Satu China,” sebut Chen dan Sana.